Opini  

Motivasi belajar siswa Mimika dalam bingkai pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara

Krinus Kum. (Foto: Istimewa)

Artikel ini membahas bagaimana nilai-nilai pendidikan karakter yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara dapat menjadi fondasi dalam membangun dan meningkatkan motivasi belajar siswa di Kabupaten Mimika, Papua.

Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, tulisan ini menelaah relevansi prinsip “ing ngarsosung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” dalam konteks pendidikan lokal yang beragam secara budaya dan sosial.

Hasil kajian menunjukkan bahwa integrase pendidikan karakter ke dalam sistem pembelajaran tidak hanya memperkuat etika dan tanggung jawab siswa, tetapi juga mendorong semangat belajar yang lebih tinggi, terutama ketika guru, orang tua, dan lingkungan sekolah menjadi teladan yang konsisten.

Artikel ini merekomendasikan pendekatan pendidikan yang lebih humanis dan kontekstual di Mimika, dengan menekankan pentingnya nilai-nilai lokal yang selaras dengan filosofi Ki Hajar Dewantara dalam membentuk siswa yang merdeka belajar, berkarakter kuat, dan cinta tanah air.

Pendahuluan

Pendidikan di Indonesia tengah berada pada titik balik penting menuju sistem yang lebih merdeka, humanis, dan berbasis karakter. Seiring perkembangan kurikulum dan program Merdeka Belajar, nilai-nilai pendidikan nasional yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara kembali mendapatkan tempat yang signifikan.

Ki Hajar Dewantara tidak hanya dianggap sebagai pelopor pendidikan nasional, tetapi juga sebagai filsuf pendidikan yang menekankan pentingnya pendekatan pendidikan berbasis budaya, karakter, dan kemerdekaan berpikir.

Di sisi lain, Kabupaten Mimika sebagai salah satu wilayah penting di Papua menyimpan tantangan dan harapan besar dalam bidang pendidikan. Di tengah realitas ketimpangan pembangunan, keterbatasan infrastruktur sekolah, serta keragaman budaya lokal, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun motivasi belajar siswa dengan pendekatan yang tidak semata akademik, melainkan berakar pada nilai-nilai luhur bangsa dan lokalitas.

Artikel ini membahas bagaimana prinsip pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara dapat menjadi kerangka kerja dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa Mimika secara kontekstual dan berkelanjutan.

Pendidikan Karakter dan Konsep Motivasi Belajar

Motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal yang menyebabkan individu terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pendidikan modern, motivasi belajar dipahami tidak hanya sebagai ketertarikan terhadap materi pelajaran, melainkan juga sebagai semangat untuk terus mencari, bertanya, mencoba, dan memahami.

Pendidikan karakter adalah proses internalisasi nilai-nilai luhur dalam perilaku sehari-hari siswa. Pendidikan karakter yang baik menciptakan pribadi yang memiliki etos kerja, tanggung jawab, kepedulian, serta semangat belajar yang tinggi.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukanlah upaya mengisi otak anak dengan pengetahuan semata, tetapi membentuk manusia merdeka yang mampu berpikir sendiri, mengelola perasaan, dan bertindak untuk kebaikan masyarakat.

Pendidikan karakter yang dilandasi oleh tiga asas pokok Ki Hajar Dewantara, yaitu:

  1. Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi teladan)
  2. Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangunsemangat)
  3. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).

Asas-asas ini menjadi dasar penting dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa secara alami dan kontekstual, khususnya dalam ruang sosial budaya Mimika yang unik dan dinamis.

Realitas Pendidikan dan Tantangan di Kabupaten Mimika

Kabupaten Mimika memiliki kompleksitas wilayah yang terdiri dari daerah pesisir, lembah, gunung, dan pedalaman. Wilayah ini dihuni oleh berbagai suku asli Papua seperti Amungme, Kamoro, serta masyarakat pendatang dari berbagai etnis.

Situasi geografis yang menantang menyebabkan akses terhadap layanan pendidikan masih belum merata, terutama di distrik terpencil seperti Tembagapura, Jila, Agimuga, dan Hoya.

Beberapa tantangan utama pendidikan di Mimika antaralain:

  1. Keterbatasan tenaga pendidik berkualitas, terutama di wilayah terpencil.
  2. Kurangnya fasilitas dan sarana belajar seperti perpustakaan, laboratorium, dan akses internet.
  3. Kesenjangan budaya antara guru dan siswa, terutama jika guru berasal dari luar Papua.
  4. ingkat partisipasi belajar yang rendah, terutama pada jenjang SMP dan SMA.
  5. Ketimpangan ekonomi keluarga yang membuat banyak anakharus bekerja membantu orang tua.

Dengan demikian, potensi besar juga ada. Antusiasme anak-anak untuk sekolah masih tinggi. Masyarakat lokal mendukung pendidikan, dan lembaga keagamaan, adat, serta pemerintah daerah mulai berperan aktif dalam pendidikan. Inilah ruang di mana nilai-nilai Ki Hajar Dewantara dapat dihidupkan kembali.

Penerapan Nilai Ki Hajar Dewantara dalam KonteksMotivasi Belajar di Mimika

  1. Ing Ngarso Sung Tulodho: Guru Sebagai Teladan

Keteladanan guru menjadi fondasi penting dalammembangun motivasi belajar siswa. Di banyak sekolah di Mimika, siswa menaruh hormat tinggi kepada guru yang bersikap jujur, disiplin, dan penuh kasih. Keteladanan bukan hanya dari sikap di kelas, tetapi juga cara guru berinteraksi dengan lingkungan dan budaya lokal. Contoh konkret: pertama, guru yang belajar dan menggunakan bahasa lokal dalam kegiatan belajar mampu membangunikatan emosional yang kuat dengan siswa; dan kedua,guru yang tetap mengajar meskipun harus berjalan kaki kesekolah di daerah pegunungan menjadi simbol semangatbagi murid-muridnya.

2. Ing Madya Mangun Karso: Membangun Semangat di Tengah Proses Belajar

Di Mimika, banyak siswa memiliki potensi besar tetapi kurang semangat karena pembelajaran yang terlalu teoritisdan jauh dari realitas hidup mereka. Oleh karena itu, guru perlu membangun motivasi dari dalam diri siswa melalui: pertama, pembelajaran kontekstual (misalnya menghitunghasil panen di pelajaran matematika); kedua, mengaitkanmateri dengan kehidupan sehari-hari (misalnya membahas pentingnya menjaga hutan dalam pelajaran IPA); dan ketiga, melibatkan siswa dalam kerja kelompok, proyek lapangan, dan diskusi kritis.

Semangat belajar tumbuh ketika siswa merasa dihargai, diakui, dan dilibatkan aktif dalam proses pembelajaran.

3. Tut Wuri Handayani: Memberi Dorongan dan Kepercayaan

Setelah siswa memiliki semangat belajar, guru berperan sebagai pendamping yang mendukung dari belakang. Ini berarti: Memberi ruang kepada siswa untuk mengatur cara belajarnya. Tidak memaksakan satu metode pada semua siswa. Menyediakan dukungan moral dan emosional ketika siswa gagal atau kehilangan arah. Bentuk konkret yang bisa diterapkan: pertama, memberi tanggung jawab pada siswa sebagai pemimpin kelas atau panitia kegiatan sekolah dan kedua, mengapresiasi hasil belajar dalam bentuk pameran karya, lomba budaya, atau pertunjukanseni lokal.

Integrasi Pendidikan Karakter dalam KurikulumSekolah Mimika

Agar nilai-nilai Ki Hajar Dewantara tidak hanya menjadi semboyan, perlu ada integrasi nyata dalam kurikulum dan kegiatan sekolah. Berikut beberapa strategi yang bisa dilakukan:

  1. Pendidikan karakter sebagai muatan utama dalam kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
  2. Penggunaan cerita rakyat dan tokoh inspiratif lokal dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dan PPKn.
  3. Pembelajaran luar ruang (outdoor learning) seperti observasi alam sekitar, mengenal tumbuhan dan binatanglokal.
  4. Pendidikan seni dan budaya Papua sebagai sarana ekspresi dan pembentukan karakter.

Peran Orang Tua dan Komunitas dalam MendukungMotivasi Belajar

Motivasi belajar siswa tidak akan tumbuh optimal tanpa peran serta orang tua dan komunitas. Di Mimika, nilai kekeluargaan dan gotong royong masih kuat. Ini dapat dimanfaatkan melalui:

  1. Sekolah komunitas, yaitu menjadikan sekolah sebagai pusat kegiatan sosial.
  2. Program kunjungan rumah, agar guru memahami kondisisosial siswa secara langsung.
  3. Pelatihan parenting berbasis karakter, agar orang tua turut menanamkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggungjawab, dan semangat belajar di rumah.

Kesimpulan

Nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara memiliki kekuatan luar biasa dalam membangun motivasi belajar siswa Mimika, yang selama ini berada di tengah tantangan struktural dan kultural.

Dengan membingkai pendidikan sebagai proses yang membebaskan, membudayakan, dan memberdayakan, siswa tidak hanya akan menjadi cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh, berintegritas, dan cinta pada tanahnya sendiri.

Penulis: Krinus Kum

Opini memuat pendapat atau gagasan penulis. Keseluruhan tulisan dan atau konten menjadi tanggungjawab penulis

banner 325x300
banner 468x60