News  

Baku tembak di Intan Jaya: benarkah 14 separatis tewas, ada warga jadi korban?

Timika, Papuadaily — Dentuman senjata kembali memecah keheningan lembah-lembah Intan Jaya, Papua Tengah. Di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, suara tembakan yang terdengar pada Rabu pagi (15/10/2025) bukan sekadar pertempuran antara dua pasukan bersenjata — tetapi juga babak baru dari perebutan kebenaran yang terus berulang di Tanah Papua.

Dalam hitungan jam setelah kontak tembak, dua versi peristiwa lahir dari dua pihak yang saling berseberangan. Di satu sisi, TNI menyebut operasi mereka berhasil menewaskan 14 anggota kelompok separatis bersenjata OPM Kodap VIII/Soanggama. Di sisi lain, TPNPB-OPM menuding militer Indonesia melakukan kekerasan terhadap warga sipil — dengan hanya tiga kombatan mereka yang tewas.

Dua klaim yang sama-sama tegas, sama-sama berargumen, namun menyisakan satu pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang jadi korban?

Versi Militer: Operasi Terukur, Wilayah Bebas dari Teror

Dari keterangan resmi Satgas Komando Operasi Habema Kogabwilhan III, operasi militer di Soanggama disebut “terpadu dan terukur.” Tujuannya, menurut Panglima Komando Operasi Habema Mayjen TNI Lucky Avianto, adalah “menegakkan keamanan serta melindungi masyarakat dari aksi teror dan kekerasan.”

“Tindakan dilaksanakan secara terpadu dan terukur, dengan tujuan untuk menegakkan keamanan serta melindungi masyarakat dari aksi teror,” ujar Lucky dalam keterangan tertulisnya.

Operasi disebut dimulai pada Selasa (14/10) malam. Pasukan TNI bergerak menuju wilayah Soanggama untuk membebaskan warga dari tekanan kelompok bersenjata yang disebut telah lama menguasai kampung. Pagi berikutnya, sekitar pukul 05.30 WIT, baku tembak tak terhindarkan.

Hasil penyisiran TNI mengklaim 14 anggota OPM tewas, di antaranya nama-nama yang disebut “pemain lama” dalam sejumlah penyerangan terhadap aparat.

Di antara yang diumumkan tewas: Agus Kogoya, Kepala Staf Operasi Kodap VIII; Ipe Kogoya, adik Pangkodap; serta Zakaria Kogoya, yang disebut pelaku penembakan aparat di Mamba Bawah dan Gamagai.Dua korban lainnya masih diidentifikasi.

Selain korban jiwa, TNI mengumumkan penguasaan markas besar Kodap VIII pimpinan Undius Kogoya. Dari lokasi itu, aparat mengamankan sejumlah barang bukti — mulai dari senjata api rakitan, amunisi, teropong, hingga atribut bintang kejora.

Bagi militer, operasi ini dinyatakan sukses. Soanggama, kata mereka, kini “aman dan kondusif”.

Versi TPNPB-OPM: Warga Sipil Jadi Korban, Rumah Dihancurkan

Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menyebut laporan langsung dari lapangan menunjukkan 15 orang tewas — namun hanya tiga di antaranya anggota TPNPB. Sisanya, menurut Sebby, adalah warga sipil.

“Yang lainnya itu adalah masyarakat sipil, satu diantaranya merupakan ibu rumah tangga,” katanya dalam pernyataan tertulis.

Sebby mengklaim, militer Indonesia mengepung rumah warga sipil, menembak delapan orang di dalamnya hingga rumah tersebut hancur. Ia juga menuding tiga anggota TPNPB ditangkap hidup-hidup lalu disiksa dan ditembak mati.

“Seorang ibu rumah tangga juga disiksa. Ia sempat melarikan diri, namun korban terus dikejar dan akhirnya jatuh di kali Hiabu hingga meninggal dunia,” ungkap Sebby.

Ia bahkan menuduh TNI menguburkan jenazah warga sipil secara terpisah-pisah untuk menghilangkan jejak, dan membakar barang-barang milik warga termasuk peralatan ibadah.

“Barang-barang seperti kapak, pisau, parang, busur dan panah, serta alat-alat kerohanian disita dan ada yang dibakar,” ujarnya.

Antara Dua Narasi dan Senyapnya Bukti Lapangan

Perbedaan mencolok antara dua versi ini kembali mengingatkan publik pada problem klasik di Papua: minimnya akses informasi independen.

Tidak ada jurnalis, lembaga kemanusiaan, atau pihak netral yang dapat memastikan jumlah korban dan siapa yang benar-benar terlibat dalam baku tembak.

Medan yang sulit, jaringan komunikasi terbatas, dan situasi keamanan yang tidak stabil membuat konfirmasi langsung hampir mustahil dilakukan.

Hingga berita ini diturunkan, tidak ada laporan independen mengenai kondisi warga sipil Soanggama, termasuk apakah ada pengungsian atau korban non-kombatan.

Penulis: Sevianto Pakiding