Berbenah di sekolah: ketika konflik menjadi kerjasama

Direktur Pusat Bantuan Mediasi GKI, Jake Merril Ibo. (Papuadaily/Crystal)

Timika, Papuadaily – Harapan baru di Sekolah Kalam Kudus Timika setelah peristiwa perundungan yang sempat mengguncang publik beberapa waktu lalu. Melalui proses mediasi panjang dan penuh empati, semua pihak—korban, pelaku, orang tua, serta pihak sekolah—sepakat menutup babak kelam ini dengan hati yang lapang.

Mediasi yang dipimpin oleh Direktur Pusat Bantuan Mediasi GKI, Jake Merril Ibo, menjadi ruang penyembuhan dan refleksi bersama. “Kita dapat melihat bahwa kesepakatan pertama itu adalah pihak keluarga pelaku dan keluarga korban sama-sama sudah mencoba untuk melihat titik bisa berdamai,” ujar Jake usai pertemuan, Kamis (16/10/2025) lalu.

Jake menegaskan, kata damai bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan. Justru sebaliknya—ini menjadi momentum untuk introspeksi dan pembenahan total di lingkungan sekolah. “Bagi sekolah masih punya waktu ke depan untuk berbenah total. Baik dari sisi rotasi guru maupun penyehatan sampai kepada titik di mana lakukan matrikulasi,” jelasnya.

Menurutnya, kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa perundungan tidak hanya soal pelaku dan korban, tetapi tentang sistem yang perlu diperkuat agar kejadian serupa tak terulang. Termasuk guru-guru yang datang dari luar Papua juga perlu memahami konteks sosial dan budaya setempat.

“Kalau ada guru dari luar datang, itu perlu sekali diajar bahwa di Papua itu keras. Jadi juga jangan menggunakan kata keras. Di sini sudah banyak (guru), jadi sekolah di mana-mana,” katanya.

Jake menyebut, pihak Yayasan Kalam Kudus telah menyatakan komitmen untuk melakukan perombakan total. Bukan hanya dalam struktur guru, tetapi juga dalam pola komunikasi dan kedekatan dengan orang tua murid.

“Yang pertama ada orang tua yang juga biasa menyampaikan informasi tapi guru kurang tanggap, kurang respek. Ke depan kepala sekolah akan mendrive, dia akan mencoba untuk lebih dekat terhadap itu untuk menjaga,” ujar Jake.

Untuk memperkuat komunikasi itu, muncul gagasan membuat chatbook WhatsApp, grup komunikasi khusus antara kepala sekolah dan orang tua murid. “Kalau bisa setiap ada informasi dari orang tua langsung ditanggapi di sini tanpa harus menunggu,” tambahnya.

Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat mempersempit jarak antara pihak sekolah dan keluarga, sehingga setiap potensi masalah dapat dideteksi lebih dini sebelum berkembang menjadi konflik.

Kesepakatan damai bukan berarti tanpa konsekuensi. Jake mengonfirmasi bahwa semua pihak yang terlibat langsung dalam kasus ini telah mengambil langkah tegas: korban, pelaku, dan wali kelas yang bersangkutan sama-sama pindah dari sekolah. “Dia hari ini sudah pindah. Itu sanksi yang sudah diambil. Sehingga sanksi ini menurut kita cukup,” katanya.

Ia menambahkan, kekerasan yang terjadi tergolong pada kekerasan psikis, bukan fisik, namun tetap perlu penanganan serius. “Kalau bicara tentang perlindungan ini ada level. Ini bukan kekerasan fisik melainkan kekerasan psikis. Sehingga sanksi yang paling tegas itu kembali kepada orang tua,” jelas Jake.

Menurut Jake, perundungan bukan hanya masalah satu sekolah, tetapi fenomena yang lebih luas. “Bukan hanya di sekolah ini. Sebenarnya di tempat lain juga masih ada banyak. Hanya belum pecah untuk dilihat ke publik,” katanya.

Menurutnya, banyak orang tua yang selama ini menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak ke sekolah, padahal pembentukan karakter sejatinya dimulai dari rumah. “Sekolah punya tugas tidak hanya pengajaran tapi juga mendidik. Namun tanggung jawab membentuk karakter anak itu bukan tanggung jawab sekolah tetapi orang tua,” tegasnya lagi.

Mediasi ini juga menghasilkan kesepakatan lebih luas antara pihak sekolah, yayasan, dan Dinas Pendidikan. Salah satu poin pentingnya adalah peningkatan fungsi kohesi sosial di lingkungan sekolah—bagaimana menciptakan budaya saling menghargai dan menghormati perbedaan, terutama dalam konteks Papua yang majemuk.

Jake juga menyoroti kebijakan sekolah yang memberi kuota hanya 20 persen bagi siswa asli Papua. Menurutnya, kebijakan itu perlu dikaji ulang agar integrasi sosial dapat tumbuh lebih sehat.

“Persentase itu sangat sedikit. Karena itu mereka menemukan kesulitan dalam hal pergaulan. Maka sistem matrikulasi perlu ditingkatkan agar guru-guru tahu tentang meningkatkan kepekaan dan empati,” katanya.

Jake menggambarkan bahwa perundungan ini terjadi di antara siswa kelas tujuh—anak-anak yang baru saja menapaki masa remaja awal dan masih mencari cara beradaptasi.

“Harus memahami bahwa anak-anak ini baru kelas tujuh, berarti kelas satu SMP. Artinya mereka baru pindah dari SD ke sekolah tersebut dan waktu ke sana itu mereka belum dapat teman. Masih saling cocok-cocok dulu ini. Nah itu bullying terjadi di sini,” ungkapnya.

Menutup Luka, Membuka Harapan

Setelah dialog panjang dan penuh refleksi, kedua pihak akhirnya saling menerima, menandatangani surat perdamaian, dan menyatakan tak ada lagi tuntutan pidana. Jake menggambarkan momen itu sebagai bukti kedewasaan dan ketulusan hati.

“Kita bersyukur karena kedua belah pihak dengan berserah hati, saling memohon maaf, saling menerima, dan kemudian mereka menandatangani surat untuk berdamai. Itu artinya masalah sudah selesai sampai di sini,” katanya.

Setelah para pihak berdamai, maka kasus ini juga dinyatakan ditutup. “Tidak ada lagi tuntutan  apapun secara pidana. Peribahasanya begini, dari konflik menjadi kerjasama,” kata Jake.

Jake juga mengingatkan masyarakat agar tidak memperkeruh suasana. “Kepada pihak-pihak lain yang ingin juga membicarakan hal ini supaya memahami bahwa masalah sudah selesai. Sebagai pihak primer, mereka sudah mengunci, jangan lagi pihak-pihak sekundar itu bakar-bakar lagi untuk memperbesar situasi,” tutupnya.