banner 728x250
Opini  

Ketika HIV-AIDS naik 1.200 kasus di Jayapura: perlu tindakan terpadu melawan virusnya, bukan manusianya

Oleh: Dr. dr. Samdei Carolina Rumbino, MMedEd

Kenaikan temuan kasus HIV-AIDS di Kota Jayapura, yang diberitakan sudah menembus sekitar 1.200 kasus baru dalam periode terbaru, bukan sekadar angka. Ini alarm keras bahwa penularan masih terjadi aktif di tengah masyarakat. Data Dinas Kesehatan juga menunjukkan lonjakan kasus baru pada 2024 (1.278 kasus Januari–September), tren yang tak boleh dianggap sebagai “rutinitas tahunan.”

Pernyataan keprihatinan Wali Kota dan instruksi untuk memperkuat edukasi, tes gratis, dan pendampingan ODHA tentu langkah penting. Namun sebagai dokter dan akademisi, saya ingin menegaskan: prihatin saja tidak cukup kalau strategi kita masih parsial, reaktif, dan terlalu bertumpu pada himbauan moral. Jayapura butuh penanganan HIV yang berbasis data, berani menyentuh akar risiko, dan dijalankan lintas sektor yang dimulai dari puskesmas sampai sekolah dan gereja.

1. Angka besar ini menandakan dua hal sekaligus

Pertama, transmisi masih tinggi. Jayapura memang sudah lama menjadi penyumbang besar kasus HIV di Papua; data kumulatif 2024 bahkan menyebutkan sekitar 8.864 kasus terdata di kota ini. Artinya, kenaikan “1.200 kasus” bukan kejadian tiba-tiba, melainkan kelanjutan tren yang belum berhasil dipatahkan.

Kedua, deteksi kita mungkin membaik, akan tetapi tidak merata. Jika tes diperluas, temuan otomatis naik. Itu bagus. Tapi kalau temuan naik terus dari tahun ke tahun tanpa diikuti penurunan penularan, berarti pencegahan primer kita lemah dan intervensi belum tepat sasaran.

2. Menyederhanakan masalah menjadi “pergaulan bebas” itu berisiko

Narasi bahwa HIV semata karena “pergaulan bebas” sering muncul, bahkan dalam himbauan pejabat. Sebagai dokter dan akademisi saya paham niatnya melindungi generasi muda. Tapi bahasa yang terlalu moralistik punya tiga efek buruk:

  1. Menggeser fokus dari perilaku berisiko ke penghakiman perilaku.
    Kita jadi sibuk menilai “siapa salah,” bukan menutup “di mana risiko itu muncul dan terbuka untuk semakin meningkat.”
  2. Mendorong stigma.
    Stigma membuat orang takut tes, takut terbuka, dan akhirnya menularkan tanpa sadar. Hampir semua epidemi HIV di dunia memburuk ketika stigma dibiarkan.
  3. Menutup fakta bahwa penularan juga bisa terjadi dalam relasi yang “sah” dan tampak baik-baik saja.
    Banyak kasus baru justru terjadi pada pasangan tetap/keluarga, termasuk ibu rumah tangga; bahkan data 2025 menyebut perempuan menyumbang proporsi besar kasus di Jayapura.

Karena itu bisa dikatakan bahwa HIV adalah masalah kesehatan publik, bukan vonis moral.

3. Kunci pencegahan: intervensi berbasis risiko, bukan berbasis asumsi

Sumber lokal menyebut maraknya pekerja seks terselubung dan transaksi via media sosial sebagai salah satu pendorong kasus. Ini harus diterjemahkan jadi kebijakan yang realistis, bukan sekadar kecaman.

Apa yang perlu dilakukan?
  • Pemetaan hotspot penularan per kelurahan (mis. Waena, Ardipura sering disebut tinggi).
  • Outreach aktif ke populasi kunci (pekerja seks, pelanggan, LSL/MSM, pengguna NAPZA suntik, pasangan ODHA).
  • Distribusi kondom yang mudah diakses di titik-titik strategis, disertai edukasi penggunaan yang benar.
  • Untuk populasi berisiko tinggi, dorong opsi pencegahan biomedis seperti PrEP (profilaksis pra-paparan) bila program tersedia.

Tanpa intervensi spesifik, kita hanya menunggu angka naik lagi di tahun depan.

4. Puskesmas harus jadi benteng, bukan sekadar tempat tes

Instruksi memperluas tes gratis itu tepat. Tapi tes hanya pintu masuk. Di lapangan, tantangan terbesar adalah retensi dan kepatuhan terapi.

Target puskesmas seharusnya 3 hal:
  1. Test–Treat–Retain: begitu positif, segera masuk ART, lalu dijaga keberlanjutannya.
  2. Konseling yang manusiawi: bukan menghakimi, bukan menakut-nakuti.
  3. Pelacakan pasangan (partner notification) yang aman dan etis: agar rantai penularan terputus.

Catatan penting yang perlu terus digaungkan stakeholder:

HIV bisa dikendalikan dengan ART. Orang dengan HIV yang minum obat teratur bisa hidup sehat, produktif, dan tidak menularkan ketika viral load tersupresi (U=U: Undetectable = Untransmittable). Ini fakta ilmiah global yang harus menjadi pesan utama kampanye agar harapan hidup bisa mengalahkan stigma.

5. Sekolah: pendidikan kesehatan reproduksi berbasis sains, bukan ancaman

Melibatkan Dinas Pendidikan adalah langkah baik. Tapi isi edukasinya harus tepat.

Jika materi sekolah hanya berisi “jangan begini-jangan begitu” tanpa pengetahuan dasar:

  • bagaimana HIV menular,
  • bagaimana tidak menular,
  • apa itu konsentrat risiko,
  • bagaimana menolak tekanan pergaulan,
  • dan ke mana harus konsultasi,

maka siswa hanya dapat ketakutan, bukan literasi.

Papua butuh generasi muda yang paham tubuhnya dan berani menjaga dirinya, bukan generasi yang cuma dicekoki rasa bersalah.

6. Gereja: kurangi stigma, perkuat perlindungan

Di Papua, gereja punya pengaruh sosial besar. Ketika gereja bicara, masyarakat mendengar. Karena itu perannya krusial pada dua sisi:

  1. Moral sosial yang melindungi, bukan mengucilkan.
    Gereja bisa menegaskan nilai kesetiaan dan tanggung jawab, sambil tetap mengatakan bahwa ODHA adalah saudara yang wajib dirangkul.
  2. Jaringan dukungan praktis.
    Misalnya: pendampingan psikososial, dukungan keluarga, dan rujukan layanan kesehatan.

Jika gereja ikut memelihara stigma, penularan akan bergerak di bawah tanah.
Jika gereja memulihkan martabat, pencegahan jadi gerakan bersama.

7. Pemerintah kota: ukur program lewat hasil, bukan seremoni

Kita perlu bertanya tegas:
program apa yang betul-betul menurunkan penularan, bukan sekadar menambah spanduk?

Pemerintah kota sebaiknya transparan pada indikator:

  • jumlah tes per kelurahan,
  • linkage to treatment (berapa persen positif langsung masuk ART),
  • retensi ART 6–12 bulan,
  • angka viral suppression,
  • tren kasus baru per populasi kunci,
  • serta survei stigma di masyarakat.

Tanpa indikator seperti itu, kita tidak tahu apakah kebijakan pemerintah bekerja atau tidak.

Penutup: melawan virusnya, bukan manusianya

HIV di Jayapura bukan hanya urusan dinas kesehatan. Ini urusan kota. Urusan keluarga. Urusan sekolah. Urusan gereja. Urusan kita semua. Karena itu, sebagai dokter, saya mengajak semua stakeholder keluar dari pola lama: jangan bertarung dengan asumsi, apalagi dengan stigma. Bertarunglah dengan data, sains, dan empati.

Jika puskesmas kuat dalam tes-terapi-retensi, sekolah cerdas dalam literasi kesehatan, gereja berani memulihkan martabat, dan pemerintah kota disiplin pada program berbasis hasil, maka niscaya angka “1.200 kasus” tidak akan jadi cerita tahunan yang terus berulang.

Kita bisa menekan penularan. Tapi hanya satu syarat: kota ini harus melawan virusnya, bukan manusianya.

Opini adalah pendapat atau gagasan penulis. Keseluruhan tulisan dan atau konten menjadi tanggungjawab penulis.