banner 728x250

Warga Intan Jaya nyatakan “Soanggama Berdarah” tuntut Negara bertanggungjawab

Ribuan warga Intan Jaya turun ke jalan melakukan aksi protes, Selasa (28/10/2025). Foto: Arnold Belau/FB

Timika, Papuadaily — Ribuan warga di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, turun ke jalan pada Selasa (28/10/2025), menuntut keadilan atas tragedi kemanusiaan yang mereka sebut “Soanggama Berdarah” dan menolak rencana eksploitasi tambang emas Blok Wabu.

Aksi damai yang diorganisir oleh Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara, gabungan sejumlah tokoh masyarakat, mahasiswa, dan aktivis lokal. Mereka menilai negara gagal melindungi warga sipil dalam konflik bersenjata yang terus berulang di Intan Jaya.

Dalam orasinya, massa menuntut pemerintah pusat bertanggung jawab atas peristiwa berdarah di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, pada 15 Oktober 2025 lalu, yang menewaskan sedikitnya 11 warga sipil dan 5 anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

“Kami aman dan damai tanpa TNI non-organik. Kami butuh bebas di atas tanah kami sendiri. Intan Jaya bukan medan perang,” demikian tulisan di salah satu pamflet yang dibawa pengunjuk rasa.

Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara juga menetapkan tanggal 15 Oktober sebagai hari peringatan tragedi Soanggama Berdarah, yang mereka sebut sebagai simbol penderitaan masyarakat Intan Jaya akibat operasi militer.

Dalam aksi tersebut, forum menyampaikan sepuluh poin sikap, antara lain:

  1. Mengusut tuntas kasus Soanggama Berdarah.
  2. Mendesak Presiden Prabowo Subianto menarik pasukan militer non-organik dari Intan Jaya dan seluruh Tanah Papua.
  3. Membentuk tim investigasi independen atas tragedi Soanggama.
  4. Menghentikan praktik militerisasi yang digunakan untuk kepentingan korporasi ekstraktif.
  5. Mengecam Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dinilai gagal melindungi masyarakat adat.
  6. Menolak eksploitasi tambang emas Blok Wabu di wilayah Intan Jaya.
  7. Menetapkan pembunuhan warga sipil di Soanggama sebagai pelanggaran HAM berat dan menuntut pengadilan bagi pelaku.
  8. Menetapkan 15 Oktober sebagai hari peringatan Tragedi Soanggama Berdarah.
  9. Menuntut penarikan seluruh pos militer di Intan Jaya yang menyebabkan warga trauma dan mengungsi.
  10. Mendesak agar TNI dan TPNPB sama-sama menghormati prinsip kemanusiaan dan tidak menjadikan warga sipil sebagai korban konflik bersenjata.

Bupati Intan Jaya, Aner Maisini, yang menemui massa aksi, menyatakan siap menampung aspirasi masyarakat dan berupaya mencari solusi atas berbagai tuntutan tersebut.

“Kita katakan bahwa kita bisa cari solusi. Tugas kita bersama adalah menjaga keamanan,” ujar Maisini di hadapan pengunjuk rasa.

Foto: Kaka Wanbo/FB

Pelanggaran HAM

Tim Peduli Kemanusiaan bagi Masyarakat Papua di Intan Jaya menyerukan pengusutan menyeluruh atas tragedy “Soanggama Berdarah”, peristiwa bentrokan bersenjata di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, pada 15 Oktober 2025.

Dalam laporan yang disusun oleh tim tersebut, tragedi ini dianggap sebagai bagian dari rangkaian panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Intan Jaya sejak 2019. Mereka menilai, akar konflik di wilayah ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi-politik, terutama terkait dengan rencana eksploitasi tambang emas Blok Wabu.

“Konflik bersenjata yang terus berlangsung telah memaksa ribuan warga meninggalkan kampung halaman mereka, menghancurkan masa depan anak-anak, dan mengancam keberlangsungan masyarakat adat Moni-Migani,” tulis laporan Tim Lokal Peduli Kemanusiaan.

Wilayah Damai jadi Zona Konflik

Sebelum dimekarkan pada 2008, wilayah Intan Jaya merupakan bagian dari Kabupaten Paniai yang relatif damai dan minim konflik. Namun, sejak menjadi kabupaten sendiri, Intan Jaya mulai menjadi lokasi konfrontasi antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata TPNPB-OPM.

Menurut laporan sejumlah lembaga swadaya masyarakat berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” (2021), kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar di Intan Jaya diduga berkaitan erat dengan upaya pengamanan potensi tambang emas Blok Wabu.

“Negara tampak berupaya mempertahankan status quo dan memastikan penguasaan wilayah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sementara masyarakat lokal justru menjadi korban,” tulis laporan tersebut.

Kekerasan sejak 2019

Tim Kemanusiaan mencatat sederet peristiwa yang disebut sebagai pelanggaran HAM berat di Intan Jaya, antara lain:

  • Pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani pada 19 September 2020.
  • Penembakan terhadap pewarta gereja Rupinus Tigau di Kampung Jalae.
  • Penembakan dua anak sekolah dasar di Kampung Yokatapa pada 2022.
  • Pembunuhan satu keluarga di Kampung Joparu (2023).
  • Pembunuhan terhadap sejumlah warga sipil termasuk perempuan, serta kasus terbaru yang menewaskan 16 warga di Soanggama pada 15 Oktober 2025.

“Banyak peristiwa tidak pernah diungkap secara tuntas, bahkan tidak diliput media. Masyarakat hidup dalam ketakutan dan trauma berkepanjangan,” sebutnya.

Kronologi Versi Tim Kemanusiaan

Menurut kesaksian yang dihimpun Tim Lokal Peduli Kemanusiaan, insiden “Soanggama Berdarah” bermula dari operasi penyisiran aparat keamanan di Kampung Soanggama sekitar pukul 04.00 WIT pada 15 Oktober 2025.

Warga mengaku sejumlah aparat memeriksa rumah-rumah warga dan mengumpulkan penduduk di halaman Gereja Katolik setempat. Mereka yang dicurigai memiliki kemiripan dengan foto-foto anggota TPNPB disebut dipisahkan dan kemudian ditembak mati tanpa proses hukum.

Tim juga melaporkan adanya korban perempuan hamil yang meninggal setelah terjebak dalam situasi baku tembak dan terhanyut saat berusaha melarikan diri.

Hingga kini, sebagian jasad korban dilaporkan belum dievakuasi karena warga masih trauma dan takut kembali ke lokasi kejadian.