Oleh: Jake Merril Ibo (Direktur Pusat Bantuan Mediasi GKI)
Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Papua pada 6 Agustus 2025 telah usai. Hiruk-pikuk politik, persaingan antar kandidat, dan panasnya dinamika demokrasi perlahan mereda. Jika masih ada pasangan calon yang belum puas dan memilih melanjutkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, itu hal wajar dan dijamin dalam mekanisme formal negara.
Namun, satu hal yang tidak boleh berhenti adalah semangat kebersamaan dan persaudaraan sebagai anak bangsa, khususnya sebagai Orang Asli Papua. Perbedaan pilihan, pandangan, maupun keyakinan pada saat PSU tentu memunculkan emosi negatif dalam diri masing-masing pendukung kandidat. Akan tetapi, pemilu hanyalah mekanisme lima tahunan untuk menentukan pemimpin, bukan arena perpecahan atau ajang permusuhan.
Yang terpenting setelah proses demokrasi selesai adalah bagaimana masyarakat kembali bergandengan tangan, menunjukkan resiliensi—mampu mengelola rasa sakit, perasaan terluka, belajar dari pengalaman, dan tetap melangkah ke depan membangun kehidupan bersama yang lebih berkualitas di atas Tanah Papua.
Merajut Luka, Menyulam Persaudaraan
Tidak dapat dipungkiri, proses politik kerap menyisakan luka—baik karena perbedaan pilihan, ketegangan antar kelompok, maupun gesekan di akar rumput. Media sosial menjadi arena paling nyata, berubah menjadi ladang konflik digital.
Pola interaksi yang muncul pasca PSU:
- Defensif – pendukung kandidat tertentu:
- Membela habis-habisan kandidatnya ketika diserang.
- Meng-counter isu negatif dengan narasi pembelaan.
- Menyebarkan klarifikasi atau penolakan.
- Kadang cukup memberi “react” (emoji) sebagai solidaritas diam.
- Ofensif – lebih agresif, dengan cara:
- Menyebarkan isu miring atau hoaks tentang kandidat lawan.
- Mengunggah meme, video singkat, atau potongan berita yang dipelintir.
- Menggunakan bahasa kasar atau ejekan.
- Memobilisasi anggota grup untuk menyebarkan ulang ke jaringan lain.
Dampaknya: media sosial berubah menjadi ajang konflik yang memanaskan relasi sosial di kampung, keluarga, organisasi, hingga pertemanan. Retaknya hubungan di dunia nyata sering bermula dari pertengkaran di ruang digital. Demokrasi yang substansial pun bergeser menjadi “demokrasi digital emosional”.
Karena itu, literasi digital dan mediasi informasi sangat penting agar media sosial kembali pada fungsinya: menyebarkan narasi damai, menampilkan program pembangunan, serta mengajak pada persaudaraan pasca-PSU.
Bahaya Sikap Jumawa
Mereka yang menang jangan merasa jumawa. Sikap jumawa pasca kemenangan sering tampak dalam perilaku:
- Merendahkan lawan politik dengan ejekan.
- Pamer berlebihan di media sosial atau arak-arakan kemenangan.
- Eksklusif hanya bergaul dengan kelompok sendiri.
- Mengabaikan prinsip demokrasi bahwa kemenangan adalah amanah rakyat.
- Menggunakan kekuasaan untuk balas dendam politik.
Sikap ini hanya memperpanjang polarisasi, membuat lawan sulit menerima hasil pemilu, dan merusak kualitas kepemimpinan. Sebaliknya, sikap bijak adalah:
- Merangkul lawan politik untuk bekerja bersama.
- Merendahkan hati bahwa kemenangan adalah anugerah Tuhan.
- Membangun rekonsiliasi melalui ruang sosial, budaya, dan politik.
- Fokus pada program kerja, bukan euforia kemenangan.
Kemenangan sejati bukan hanya menguasai kursi kekuasaan, tetapi menghadirkan buah kebaikan bagi seluruh rakyat.
Bagi yang Belum Berhasil
Bagi pihak yang kalah, pemilu bukan akhir segalanya. Demokrasi mengajarkan bahwa pemilu hanyalah satu babak. Setelahnya, kita kembali pada babak yang jauh lebih penting: membangun Papua, memperkuat kasih persaudaraan, dan menjaga kohesi sosial agar Papua tetap damai, adil, dan sejahtera.
Kualitas Hidup di Atas Segalanya
Papua masih menghadapi tantangan besar: akses pendidikan dan kesehatan yang terbatas, lapangan kerja yang minim, hingga kebutuhan menjaga alam dan tanah adat dari eksploitasi sempit. Semua itu hanya bisa diatasi bila masyarakat bersatu.
Pendekatan preventif pasca PSU harus menempatkan kualitas hidup sebagai agenda utama.
- Mengurangi potensi konflik: energi diarahkan pada pemulihan sosial.
- Membangun kepercayaan publik: demokrasi menghadirkan kesejahteraan, bukan sekadar perebutan jabatan.
- Menjaga stabilitas jangka panjang: kualitas hidup masyarakat yang membaik akan mengurangi ketegangan politik.
Prinsip yang perlu dijaga:
- Kolaborasi lintas pihak: pemerintah, tokoh adat, agama, akademisi, dan pemuda.
- Transparansi & akuntabilitas: agar publik tidak merasa ditinggalkan.
- Pendekatan budaya Papua: nilai lokal seperti gotong royong, noken, rumah besar, dan musyawarah adat menjadi dasar persatuan.
Kata, Karya, dan Karsa
Kebersamaan Papua yang lebih berkualitas dapat dirajut melalui tiga hal:
- Kata – tutur yang menyejukkan, bukan memecah belah.
- Karya – kontribusi nyata di bidang masing-masing: guru mendidik, petani mengolah tanah, ASN melayani, pemimpin bekerja jujur, pekerja kreatif berinovasi.
- Karsa – tekad bersama menjaga Papua sebagai tanah damai, penuh toleransi, rumah bagi semua suku bangsa, bahasa, agama, ras, dan warna kulit.
Penutup: Melangkah Bersama
Pemilu usai, tetapi kebersamaan, kekeluargaan, dan kasih jangan pernah usai. Gubernur boleh berganti dan dipimpin siapa saja, tetapi tujuan kita sama: Papua yang damai, sejahtera, dan berkualitas.
Dengan kebersamaan, Papua akan benar-benar menjadi bagian penting dari Indonesia Emas 2045.
Penulis adalah Direktur Pusat Bantuan Mediasi GKI
Opini adalah pendapat atau gagasan penulis. Keseluruhan tulisan dan atau konten menjadi tanggungjawab penulis.