Opini  

“Modal Sosial dan Spiritual: Pondasi Eksistesial yang Terlupakan Era Otsus Papua di Negara yang Sudah Merdeka”

Jake Merril Ibo

Sebuah refleksi penawaran analisis pembanguan di Papua, memaknai hari ultah kemerdekaan RI ke 80 Tahun 2025

Oleh: Jake Merril Ibo

Pendahuluan

Dua dekade lebih Otonomi Khusus (Otsus) di Papua memberi ruang fiskal dan kewenangan besar bagi pemerintah daerah. Jalan dan jembatan dibangun, bandara diperluas, dan belanja publik meningkat. Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah modal ekonomi yang mengalir ini sungguh-sungguh mengubah kualitas hidup Orang Asli Papua (OAP) dan meredakan konflik? Pengalaman lapangan menunjukkan, ketika modal ekonomi (economic capital) digenjot tanpa ditopang modal sosial (social capital) dan modal spiritual (spiritual capital), maka hasilnya rentan: program tak berumur panjang, kepercayaan publik menurun, dan ketegangan sosial tetap menyala di bawah permukaan.

Tulisan ini merefeksikan dan menawarkan analisis keterkaitan tiga modal tersebut—bagaimana saling menopang atau justru saling melemahkanserta agenda kebijakan praktis untuk Otsus yang lebih bermakna bagi manusia Papua di usia otsus sudah lebih dari 2 dekade di hari kemerdekaan Republik Indonesia di usianya yang ke 80 Tahun 2025.

Tiga Modal, Satu Ekosistem

1) Modal Ekonomi (Economic Capital)

Merujuk pada sumber daya finansial dan fisik: APBD termasuk Otsus, investasi, infrastruktur, aset alam. Ia dapat dilihat atau tampak terlihat (visible) dan mudah diukur (km jalan, nilai belanja, PDRB). Namun, ekonomi yang berdiri sendiri tanpa jaringan kepercayaan dan makna kolektif cenderung menciptakan “pertumbuhan tanpa pengakuan”: angka naik, martabat tidak serta-merta terangkat.

2) Modal Sosial (Social Capital)

Adalah jaringan kepercayaan, nilai, norma, dan jejaring kerja sama (value, trust, norms, networks). Di Papua, ia hidup dalam ikatan marga, kampung, gereja dan masjid. Modal ini yang menentukan apakah sebuah program diterima, dirawat, dan dipertahankan setelah proyek selesai. Tanpa trust dan partisipasi, infrastruktur menjadi “monumen sepi”.

3) Modal Spiritual (Spiritual Capital)

Adalah cadangan makna, nilai, tujuan, dan panggilan moral yang memberi arah bagi penggunaan modal lain. Di Papua dengan sejarah pekabaran Injil yang panjang, sejarah masuknya agama islam di beberapa tempat, modal spiritual muncul sebagai etos pelayanan, etos kehidupan umat, keadilan, rekonsiliasi, dan keutuhan ciptaan. Ia menjawab untuk apa semua pembangunan dilakukan, dan bagaimana ia harus dijalankan agar bermartabat menjamin kemaslahatan hidup masyarakat bangsa.

Singkatnya dapat dikatakan bahwa: economic capital menyediakan alat, social capital menyediakan cara bersama menggunakannya, spiritual capital menyediakan alasan dan arah. Ketiganya membentuk sebuah ekosistem. Memperbesar satu unsur sambil mengerdilkan dua lainnya sama dengan menciptakan ketimpangan, pembodohan dan penjajahan terhadap Masyarakat yang sudah merdeka.

Mengapa Banyak Program Ekonomi Gagal Mengubah Realitas?

  1. Defisit Kepercayaan (Trust Deficit). Ketika proses perencanaan top–down dan partisipasi simbolik, komunitas merasa “dititipi proyek”, bukan menjadi pemilik. Banyak pejabat mewakili institusi pemerintah masih gemar melakukan kegitan misalnya menanam pohon yang dipublikasi dengan semarak, dengan alasan penghijau, namun tidak melibatkan masyarakat adat, atau dalam kasus laih dengan jabatan aparat militer mengajar di kampung-kampung dengan alasan penduli Pendidikan, menimbulkan kegaruan, apakah aparat keamanan bisa mengajar? mengajar apa? Berapa lama? Metodenya apa? Menggunakan kurulum mana? Dan tidak melibatkan masyarakat setempat, mengapa?. Masih banyak lagi program-program yang hanya mencari sensasi dan popularitas, di tengah masyarakat, sehingga masyarakat tidak merasa memiliki dan cenderung hanya sebagai penonton. Modal sosial melemah, resistensi dari masrayarakat bawah tentu akan meningkat.
  2. Keterputusan Makna. Pembangunan yang hanya mengejar output teknis mengabaikan nilai-nilai lokal (tanah sebagai “mama”, hutan sebagai “rumah”). Modal spiritual tersisih; konflik sumber daya mudah menyala. Karena desain program menggunakan perspektif Pusar atau Jakarta, Masyarakat penghuni, pemilik, tidak menjadi fokus, fokusnya pada pengerukkan sumber daya alam, kearifan local justru dianggap sebagai penghalang, sehingga regulasi disusun menjadi jalan tol bagi sebuah gerekan atas nama kepentingan negara (Res Gestae).
  3. Transaksi Mengalahkan Transformasi. Insentif jangka pendek (padat karya sesaat, bansos) tidak disertai penguatan kelembagaan adat/gereja/masjid/sekolah. Setelah dana habis, kapasitas lokal tak bertambah bahda cenderung merusak kohesi sosial. Seluruh kepala daerah berlomba-lomba merealisasikan program hanya untuk kurun waktu lima tahun, sehingga sulit menemukan sebuah program yang sustainable (berkelanjutan), yaitu mempersiapkan orang Papua nanti setelah Otsus Julid II berakhir akan jadi apa? Apakah sudah berdaya atau belum? Transpformasi bukan menjadi fokus Pembangunan, melain transaksi demi kepentingan elit.
  4. Ketidakadilan Prosedural. Mekanisme konsolidasi lahan, AMDAL, dan bagi hasil sering tidak transparan; warga merasa tidak dihormati, ekploitasi Sumber Daya Alam, perampasan Tanah Adat, dan lain sebagaimanya. Ketika martabat OAP disangkal, Ketika makna harga diri ditiadakan, tentu dampaknya Adalah ekonomi kehilangan legitimasi, bahkan menjadi bumerang bagi pemerintah.

Ketika Modal Sosial & Spiritual Menguat, Ekonomi Menjadi Inklusif

  • Perencanaan berbasis kampung/marga dengan musyawarah yang sungguh-sungguh (bukan formalitas) memperkecil biaya transaksi, mempercepat izin sosial (social license to operate), serta menurunkan potensi konflik. Semua model perencanaan pembangunan kampung masih seperti copy paste perlu dievaluasi kembali, sebab, masih banyak keluhan masyatakat kampung yang merasa perencanaan kampung yang sudah melalui tahapan MUSREMBANG kadang-kadang di rubah di Tingkat Distrik dan Kabupaten, sehingga proyek yang diusulkan lain, realisasinya berbeda. Sebagian proyek Pembangunan berupa Dana Swakelola yang seharusnya melibatkan psrtisipasi warga masyakat, masih terus dimainkan dan diserahkan ke pihak ketiga dengan alasan efisiansi pemanfaatan biaya, dll.
  • Keterlibatan gereja, Masjid dan lembaga adat seharusnya dijadikan sebagai ko-produser layanan publik (pendidikan, kesehatan, mediasi konflik) meningkatkan kepatuhan sosial, memperluas jangkauan, dan menekan biaya pengawasan. Sampai saat ini belum Nampak jelas. Karena Lembaga adat dan Lembaga agama belum memiliki inisitaif Pembangunan yang kuat disertai SDM yang cukup untuk terlibat dan/atau untuk ditawarkan ke pemerintah, guna memainkan fungsi ko-produser.
  • Etos spiritual tentang keadilan & keutuhan ciptaan seharusnya mendorong tata kelola sumber daya yang berkelanjutan; dengan demikian ekonomi tumbuh tanpa merusak identitas budaya dan ekologis. Ekonomi tumbuh subur tidak perlu diubah menjadi menjadi praktek gastro clolonialism, atau ketergantungan ke pusat.

Kerangka Operasional: Menjembatani Tiga Modal

A. Perencanaan dan Anggaran
  1. Penganggaran Berbasis Modal
    Setiap proyek fisik (ekonomi) wajib memiliki komponen penguatan kelembagaan lokal (sosial) dan edukasi nilai/etika (spiritual). Contoh: pembangunan pasar adat disertai pelatihan tata kelola koperasi marga dan modul literasi keuangan berbasis etika Kristen, serta penyertaan modal usaha.
  2. Social & Spiritual Impact Statement
    Bagian yang wajib di dalam Pembangunan adalah lembar evaluasi “dampak sosial dan spiritual” berdampingan dengan AMDAL. Ukur trust, nilai, partisipasi, keberterimaan adat, dan dampaknya pada kohesi sosial sesuai pranata adat setempat.
B. Tata Kelola Sumber Daya
  1. Social License to Operate (SLO) Wajib
    Kontrak investasi di dalam mensyaratkan harus berupa perjanjian sosial yang ditandatangani marga/kampung, gereja, masjid (diwilayah tertentu) dan pemerintah, bukan hanya izin formal.
  2. Skema Bagi Hasil Bermartabat
    Skema benefit-sharing yang transparan, audit sosial tahunan, dan perlunya difungsikan mekanisme pengaduan independen (ombudsman komunitas).
C. Layanan Publik Inklusif
  1. Kemitraan Negara–Gereja–Masjib-Adat
    Program kesehatan ibu dan anak, pencegahan KDRT, dan mediasi konflik berbasis rumah ibadah atau pos PI; gereja dan Masjid sebagai pusat layanan damai atau sebagai literasi sosial yang mengedukasi narasi perdamaian.
  2. Pendidikan Identitas & Kewargaan
    Kurikulum kontekstual: bahasa ibu, sejarah lokal, teologi keadilan, dan ekonomi kreatif kampung; seharusnya harus disusun, karena mampu menumbuhkan kebanggaan identitas yang konstruktif, bukan eksklusif.
D. Pemulihan dan Rekonsiliasi
  1. Mediasi Berbasis Komunitas
    Perkuat pusat-pusat mediasi (termasuk pemanfaatan PBM-GKI) sebagai upaya penyelesaian sengketa tanah, keluarga, dan konflik horizontal, dengan standar profesional dan akreditasi. Hindari praktek mediasi sengketa yang dipimpin oleh tokoh-tokoh yang yang tidak memiliki kapasitas mediator, karena tidak bisa menghasilkan putusan yang mendekati keadilan bagi para pihak bersengketa.
  2. Ritual Publik Pemulihan
    Liturgi lintas-denominasi, kolaborasi lintas iman di lokasi-lokasi memori kekerasan: mengakui luka, menyebut nama korban, dan berkomitmen pada non-kekerasan, perlu sekali dipertimbangkan sebagai sebuah metode ritual publik, karena modal spiritual mengikat konsensus damai.

Indikator Keberhasilan (Bisa Diukur)

  • Trust Index Komunitas (survei tahunan): kepercayaan warga terhadap pemerintah, gereja, masjid, adat dan investo, pelu dilakukan dalam bentuk survey untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan sehingga menjadi menjadi acuan bagi pengembangan lebih lanjut.
  • Community Ownership Rate: persentase proyek yang dikelola komunitas >3 tahun pasca-serah terima.
  • Reduksi Konflik Sumber Daya: jumlah sengketa tanah/identitas yang dimediasi dan selesai dengan kesepakatan (klasul).
  • Partisipasi Bermakna: proporsi perempuan, pemuda, dan OAP dalam musyawarah perencanaan kampung, perlu diubah dan diberi ruang yang seluas-luasnya kepada OAP.
  • Indeks Martabat (proxy): persepsi aman, didengar, dan diakui identitasnya.
  • Keberlanjutan Ekologis: kepatuhan terhadap tata ruang adat dan konservasi sebagai wujud keadilan ruang, perlu mendapat keseriusan dalam menjaga ekosistem alam sebagai warga dunia.

Contoh Skenario Integratif (Ringkas)

Pembangunan Kawasan Perikanan Kampung Pesisir
  • Economic: cold storage, dermaga kecil, akses jalan.
  • Social: koperasi nelayan marga + perjanjian adat pembagian zona tangkap; pelatihan manajemen bersama gereja & kampus.
  • Spiritual: kateketik tentang kejujuran timbangan, larangan overfishing sebagai tanggung jawab iman; ritus syukur panen sebagai kontrol sosial.
    Hasil yang diharapkan: pendapatan naik, konflik zona tangkap turun, dan ekosistem terjaga.

Penutup

Otsus akan berumur panjang jika menghasilkan kemajuan yang dirasakan sebagai keadilan. Itu hanya terjadi ketika economic capital berjalan seiring dengan social capital dan spiritual capital. Papua tidak bisa dibangun dengan uang semata; Papua dibangun dengan kepercayaan, makna, dan martabat. Pemerintah, gereja, masji dan adat, dan pelaku usaha perlu membaca ulang peta pembangunan: dari sekadar membangun sesuatu menjadi membangun bersama—demi tanah yang damai, adil, dan sejahtera. Jika pembanganunan berorientasi pada Pembangunan ekonomi semata, maka, sekalipun sebagai bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI 80, psikologi sosial Orang Asli Papua masih terjajah oleh sistem yang  tidak berpiham pada Pembangunan sosial dan spiritual. Usia ke 80 Tahun dihayati bukan hanya sebagai bentuk ivent tahunan, melainkan dimaknai sebagai kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara diwujudnyatakan demi kemslahatan umat manusia.

Selamat Ulang Tahun Hari Kemerdekaan RI 80 Tahun 2025, jayalah bangsaku.

Opini memuat pendapat atau gagasan penulis. Keseluruhan tulisan dan atau konten menjadi tanggungjawab penulis

banner 325x300
banner 468x60