Caleg Perempuan Nduga Protes Sistem Noken Pemilu yang Merampas Hak Perempuan

Caleg perempuan di Nduga, Papua Pegunungan menyampaikan aspirasi ke Forkopimda, Senin (19/2/2024). (Istimewa)

Timika, Papuadaily.com – Calon legislatif (caleg) dari partai politik peserta Pemilu 2024 di kabupaten Nduga, Papua Pegunungan memprotes pemungutan suara dengan sistem Noken yang telah merampas hak perempuan.

Para caleg perempuan di Nduga akhirnya menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka kepada jajaran forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) setempat, Senin (19/2/2024).

Menurut Caleg PSI Dapil 2 Nduga Joice Wandikbo, praktek pemungutan suara sistem Noken dengan cara “bungkus” yang ditentukan oleh kaum laki-laki jelas telah merampas hak perempuan.

“Suara pemilih ditentukan oleh orang-orang tertentu yang notabene adalah kaum laki-laki yang tidak mengerti hak dan kepentingan politik perempuan,” kata Joice dalam pernyataan yang diterima, Selasa (20/2/2024).

Joice khawatir, 90 caleg perempuan di Nduga tidak satupun yang mendapat perolehan suara signifikan akibat praktek pemungutan suara semacam ini.

Karena itu, Joice dan para caleg perempuan lainnya menuntut agar keterwakilan perempuan di kursi legislatif Nduga tetap harus dipenuhi 6 kursi. Kemudian, meminta agar kuota 6 kursi DPRD Kabupaten dan 4 kursi DPRD Provinsi jalur Otonomi Khusus diberikan 50 persennya kepada kaum perempuan. 

Joice bersama para politisi perempuan Nduga mengancam akan memboikot pemilu berikutnya jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Sebab menurutnya, perempuan hanya sekedar melengkapi syarat saja.

“Kami tidak akan masuk jadi caleg yang nyatanya hanya untuk memenuhi syarat 30 persen caleg perempuan di setiap Parpol,” kata Joice.

Caleg PKB Dapil 1 Kabupaten Nduga, Darimi Nimiangge mengatakan, sistem noken seharusnya hanya membantu setiap warga menyalurkan hak pilih. Tetapi, faktanya praktek ini justru mendiskriminasi kaum perempuan.

“Saksi setiap caleg itu seharusnya bawa noken, nanti warga yang pilih kertas suara dimasukkan ke noken yang mana. Tapi yang terjadi ini tidak demikian, semua pakai sistem ‘bungkus’. Caleg perempuan dirugikan, didiskriminasi,” tuturnya.

Padahal menurutnya, keterwakilan perempuan di legislatif Nduga sangat penting. Konflik dan situasi keamanan yang tidak kondusif menyebabkan banyak warga Nduga mengungsi ke wilayah lain.

“Setiap kali konflik, yang paling rentan adalah kaum perempuan dan anak-anak. Siapa yang akan memperjuangkan, berbicara tentang mereka jika tidak ada perwakilan perempuan di DPR,” kata Darimi.

Dalam sejarahnya, keterisian kursi DPRD Nduga oleh kelompok perempuan memang selalu minim. Di tiga periode, hanya satu wakil perempuan di DPRD Nduga. Besar kemungkinan kondisi yang sama terjadi lagi di Pemilu 2024 ini.