Dua Maria di Tengah Konflik Gaza: Hari ini Paus Serukan Berdoa

Suster María del Pilar (kiri) dan Suster María del Perpetuo Socorro. (Foto: IVE Religious Family)

JUMAT itu tidak pernah terbayangkan akan menjadi akhir pekan terburuk bagi dua perempuan kembar berkerudung itu. Sudah dua pekan ini ribuan roket mendarat di tanah ‘perjanjian’. Teknologi sains dari militer Israel yang katanya memakan milyaran USD itu terbukti ampuh menghancurkan rumah-rumah penduduk di Gaza. Jumat itu, 18 orang telah sah berpulang ke ‘rumah Bapa’ akibat tertimpa runtuhan kamar di rumah Tuhan, Gereja Ortodoks Santo Porfirius.

Dua perempuan kembar berkerudung itu ada di tengah-tengah mereka yang berkabung. Di penghujung doa, satu per satu anak-anak kecil berpamitan kepada orang tuanya yang sudah terbaring di pusara.

“Lebih pedih lagi melihat orang tua mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya. Beberapa dari mereka mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang [yang meninggal], kepada anak-anak mereka [yang wafat]. Itu adalah gambar yang akan sangat sulit untuk dihapus,” kata Maria del Pilar melalui pesan suara kepada Voz Católica, 21 Oktober 2023.

Sebagian anak-anak yang telah meninggal itu sering menghadiri kegiatan di Paroki tempatnya bertugas. Jumlah yang disebutkan itu seperti segelas air di tengah lautan: 5.000 warga sipil tewas, termasuk lebih dari 2.000 anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Suster Maria melayani di Gaza bersama saudara kembarnya, yang juga seorang biarawati, Suster María del Perpetuo Socorro. Keduanya berasal dari Peru dan tergabung dalam kongregasi Pelayan Tuhan dan Perawan Matara, merupakan bagian dari Institut Sabda Inkarnasi.

Sejak pecah perang pada 7 Oktober lalu, keduanya sudah diminta oleh Kedutaan Besar Peru di Mesir untuk mengungsi ke Mesir. Keinginan untuk menggapai daerah selatan, Sungai Wadi Gaza yang aman itu tidak dihiraukan oleh keduanya. Padahal pihak Israel telah menyebar pengumuman bahwa mereka yang masih tinggal, akan dianggap sebagai kaki tangan organisasi teroris.

Bersama mereka tinggal 600 orang yang diantaranya menggunakan kursi roda, para perempuan, anak-anak, dan lansia. Juga bersama mereka terdapat sejumlah pastor dan suster dari kongregasi lainnya. Peringatan untuk segera pindah ke selatan menjadi sangat berat karena tentu tidak hanya dua perempuan kerudung ini yang harus pindah, bersama mereka harus ikut 600 umat. Jika mengungsikan para lansia dan anak-anak sangat sulit, menurut mereka, solusi masalah ini adalah hentikan perang.

“Kami menginginkan perdamaian, kami hanya menginginkan perdamaian. Untuk itu kami harus banyak berdoa. Paus Fransiskus menyebut tanggal 27 Oktober ini sebagai Hari Doa. Saya percaya inilah saatnya bagi kita semua untuk bersatu dalam permohonan besar ini untuk mendoakan perdamaian.”

Di Vatikan, Paus Fransiskus mengajak seluruh Gereja partikular untuk mengadakan kegiatan doa satu jam demi perdamaian Palestina-Israel.

Kegiatan yang dilakukan itu adalah berdoa, berpuasa, dan melakukan penebusan dosa demi perdamaian. Paus mengajak orang-orang dari berbagai denominasi Kristen, lintas agama, dan semua orang yang mengadvokasi perdamaian agar berpartisipasi secara sukarela dalam kegiatan ini. Paus sendiri akan bersama-sama umat Katolik di Roma untuk berdoa selama satu jam pada pukul 18.00 di Lapangan Santo Petrus.

“Perang hanya menabur kematian dan kehancuran, meningkatkan kebencian, melipat-gandakan balas dendam. Perang menghapus masa depan, menghapus masa depan.” seru Paus, 18 Oktober lalu.

Ia pun mendesak semua umat beriman untuk berdiri pada satu pihak: perdamaian.

“Tetapi tidak dengan kata-kata, dengan doa dan dedikasi total.” terangnya.

Singkatnya, sang Pontifex Maximus memohon perang yang sudah memakan banyak korban tidak bersalah ini segera berhenti.

“Jatuhkan senjata dan indahkan seruan perdamaian dari si miskin, rakyat, dan anak-anak yang tidak bersalah.”

Catatan: Reportase ini merupakan kumpulan dari berbagai sumber yakni kanal youtube Voz Católica, BBC Mundo, dan Vatican News demi advokasi perdamaian.

Penulis: Yonri