News  

MAY DAY GELAP BUKAN FIESTA 2025

Anthony Awom, anggota kolektif mogok kerja buruh Freeport Indonesia di Jayapura mengingatkan dan menyerukan bahwa May Day atau Hari Buruh Internasional memang menjadi momentum penting bagi para buruh untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka terkait kesejahteraan hidup bukan perayaan bagaikan hiburan, yaitu sebagai hari untuk memperingati perjuangan buruh dan menuntut hak-hak mereka.

May Day menjadi pengingat bahwa pelanggaran hukum ini belum terselesaikan. Buruh Freeport menggunakan momentum ini untuk menuntut pemerintah menegakkan hukum , tetapi respons minim dari otoritas membuat peringatan ini lebih sebagai perayaan Fiesta daripada perbaikan hak-hak buruh.

Pada bulan Februari 2025, perwakilan buruh Freeport turut bersolidaritas menggelar aksi unjuk rasa dengan tema “Indonesia Gelap” di Jakarta. Mereka menuntut keadilan atas PHK massal yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Aksi ini menunjukkan solidaritas antara buruh, mahasiswa, dan masyarakat yang terpinggirkan.

Isu buruh PT Freeport Indonesia yang menjadi korban Konstitusi karena berserikat, khususnya terkait mogok kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK), merupakan masalah kompleks yang melibatkan hak ketenagakerjaan, pelanggaran HAM, dan dinamika Politik Ekonomi.

Sejak 2017, sekitar ribuan buruh PT Freeport Indonesia dan subkontraktornya melakukan mogok kerja yang dimulai pada 1 Mei 2017, bertepatan dengan Hari Buruh Internasional. Mogok ini dipicu oleh kebijakan furlough (perumahan karyawan tanpa kepastian kembali bekerja [trajektori PHK] yang diterapkan perusahaan sebagai respons terhadap ketidakpastian operasional dan negosiasi saham dengan pemerintah Indonesia.

Buruh menilai kebijakan ini sepihak dan melanggar hak mereka. Mereka menuntut penghentian furlough, pengembalian hak- hak normatif, dan kebebasan berserikat tanpa kriminalisasi. Namun, aksi mogok ini berujung pada PHK massal yang dianggap sepihak oleh buruh.

Manajemen Freeport beralasan bahwa karyawan yang mogok dianggap “mengundurkan diri secara sukarela” karena absen lebih dari lima hari berturut- turut, sesuai UU Ketenagakerjaan No. 13/2003. Buruh dan serikat pekerja menolak klaim ini, menyebutnya sebagai pelanggaran kebebasan berserikat yang dijamin oleh Pasal 143 UU tersebut serta Pasal 28 UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja.

Selain itu, perusahaan juga dituduh memblokir akses buruh ke BPJS Kesehatan, yang menyebabkan kesulitan besar, termasuk kematian ratusan buruh lebih dari 130 orang hingga 2025 karena tidak mampu mengakses layanan kesehatan.

Pelanggaran HAM yang dituduhkan mencakup:

Pemblokiran BPJS Kesehatan: Buruh kehilangan akses jaminan kesehatan, yang dianggap melanggar UU No. 40/2004 tentang SJSN.

PHK sepihak: Meskipun Pasal 137 s\d 145 UU No. 13/2003 menjamin selama mogok kerja sah.

Pemerintah Indonesia, meski telah mengakuisisi 51% saham Freeport pada 2018, dikritik karena tidak kunjung menyelesaikan nasib buruh.

Lembaga seperti Komnas HAM menerima aduan pada 2017, 2018, dan 2022 melalui Dirjen Ham [kementerian hukum dan ham], tetapi tidak ada tindak lanjut signifikan. Kementerian Ketenagakerjaan juga dianggap lalai dalam pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan. Gubernur Papua Alm. Bapak Lukas Enembe pernah mengultimatum Freeport untuk mempekerjakan kembali buruh, namun tidak diindahkan.

PT Freeport Indonesia (PTFI) memang sering menonjolkan kontribusinya bagi perekonomian nasional, seperti kontribusi kepada negara.Pada 2024, misalnya, PTFI dilaporkan sebesar Rp7,73 triliun (11,5% dari laba bersih) laba bersih PT Freeport Indonesia tahun 2024 sebesar Rp 67,32 triliun, dan memberikan kontribusi sosial seperti program kesehatan dan pendidikan senilai miliaran dolar untuk masyarakat lokal hingga 2041.

Namun, di balik itu, tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan hak buruh terus mencuat, menunjukkan kontradiksi antara narasi kontribusi dan realitas praktik bisnisnya, senyatanya hingga saat ini PTFI belum melakukan uji tuntas sukarela atas prinsip Bisnis dan HAM standar internasional UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) maupun OECD, mengandalkan narasi kontribusi ekonomi untuk menutupi kekurangan dalam praktik HAM-nya.

Dampaknya tragis: selain kematian akibat kurangnya akses kesehatan, buruh mengalami kemiskinan, depresi, dan ancaman putus sekolah bagi anak-anak mereka. Buruh asli Papua, yang merupakan bagian signifikan dari korban, merasa diabaikan di tengah narasi “pembangunan” dan divestasi saham.

Sementara itu, Freeport dan pemerintah menegaskan bahwa operasional perusahaan tetap berjalan dan divestasi saham adalah keberhasilan nasional. Namun, buruh menilai negara lebih mengutamakan kepentingan modal ketimbang hak pekerja. Upaya advokasi terus dilakukan melalui LBH Papua, Lokataru, dan aksi solidaritas, tetapi hingga 2025, solusi konkrit belum tercapai.

Catatan kritis: Narasi resmi dari Freeport dan pemerintah cenderung meminimalkan pelanggaran dengan fokus pada legalitas teknis (misalnya, “pengunduran diri sukarela”). Namun, fakta lapangan menunjukkan ketimpangan kekuasaan, di mana buruh, terutama dari komunitas asli Papua, menjadi korban struktural dari prioritas ekonomi dan politik. Kurangnya transparansi investigasi independen memperumit penyelesaian.

Ambiguitas Kementerian Ketenagakerjaan dalam penanganan kasus buruh PT Freeport Indonesia (PTFI) terlihat dari beberapa aspek.

Ketidakjelasan Tindak Lanjut Hukum:

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dikritik karena dianggap pasif dalam menangani pelanggaran ketenagakerjaan, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap sekitar ribuan buruh PTFI sejak 2017. Meski buruh melakukan mogok kerja secara sah sesuai UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Kemnaker belum menghasilkan keputusan pemeriksaan yang jelas atau tindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran, seperti pencabutan BPJS Ketenagakerjaan,pemogokan dan upah buruh. Hal ini mencerminkan kurangnya keberpihakan pada penegakan hukum ketenagakerjaan.

Minimnya Pengawasan Efektif:

Kasus mogok kerja yang dipicu kebijakan furlough (perumahan karyawan) PTFI pada 2017 tidak menemukan titik temu karena absennya pengawasan yang kuat dari Kemnaker. Buruh menuntut pemulihan hak, seperti dipekerjakan kembali dan pengembalian jaminan sosial, namun Kemnaker dinilai tidak responsif. Pernyataan bahwa kasus “akan ditindaklanjuti” sering kali tidak diikuti langkah konkret, menambah persepsi ambiguitas.

Kontradiksi dengan Kepentingan Negara:

Pemerintah, berhasil mendorong divestasi saham PTFI hingga 51% pada 2018, tetapi di sisi lain, nasib ribuan buruh yang terdampak PHK sepihak tetap terabaikan. Ini menimbulkan kesan bahwa prioritas pemerintah lebih pada kepentingan ekonomi ketimbang perlindungan hak buruh, menciptakan ketidaksesuaian dalam peran Kemnaker sebagai pembina dan pengawas ketenagakerjaan.

Dampak Sosial yang Diabaikan:

Buruh melaporkan dampak berat, seperti pekerja meninggal karena depresi dan kurangnya akses kesehatan akibat pemblokiran BPJS. Kemnaker tidak menunjukkan intervensi signifikan untuk memastikan hak konstitusional buruh atas jaminan sosial terpenuhi, meski hal ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Sikap ini memperkuat kritik bahwa Kemnaker gagal menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan.

Kritik terhadap Ambiguitas:

Sikap Pasif: Kemnaker kerap dikecam karena hanya memberikan respons normatif tanpa tindakan nyata, seperti investigasi mendalam atau sanksi terhadap PTFI.

Kurangnya Transparansi: Tidak adanya laporan resmi atau keputusan pemeriksaan yang dipublikasikan membuat buruh dan publik sulit memahami posisi Kemnaker.

Ketidakselarasan Kebijakan: Fokus pada divestasi saham kontras dengan minimnya perhatian pada penyelesaian konflik buruh, menunjukkan inkonsistensi prioritas.

Ambiguitas ini mencerminkan tantangan sistemik dalam pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia, terutama pada perusahaan multinasional seperti PTFI. Jika tidak ditangani, kepercayaan publik terhadap Kemnaker bisa terus tergerus.

Isu buruh PTFI yang menjadi korban karena berserikat mencerminkan pelanggaran konstitusional dan HAM, dengan hak mogok kerja dan berserikat diabaikan oleh PTFI dan didukung oleh sikap pasif pemerintah. Dinamika hubungan industrial menunjukkan ketimpangan kekuatan, di mana kepentingan korporasi dan divestasi mendominasi.

Hingga Mei 2025, ditambah sikap pasif pemerintah, memperparah pelanggaran hukum. Ini menunjukkan kelemahan penegakan hukum ketenagakerjaan dan HAM di Indonesia, terutama dalam konteks perusahaan multinasional,dan masalah ini belum terselesaikan, menuntut intervensi pemerintah yang tegas untuk menegakkan hukum dan melindungi hak buruh.

Bagi korban buruh PTFI sejak 2017, May Day bukan sekadar perayaan Hari Buruh, melainkan simbol perjuangan melawan pelanggaran hukum dan HAM, kepedihan atas kematian dan kemiskinan, serta harapan untuk keadilan yang belum tercapai. Dari aspek hukum, pengabaian menunjukkan kegagalan penegakan hukum di Papua, dampaknya memperburuk krisis sosial, ekonomi, dan politik, bertentangan dengan otonomi khusus.

Siapa yang Membela Buruh?

Kegagalan pemerintah menyelesaikan konflik perburuhan Freeport adalah potret buram dari sistem ketenagakerjaan Indonesia yang masih tunduk pada kekuasaan modal dan kepentingan elite. Di tengah gemuruh investasi dan pembangunan, suara buruh seperti teredam. Diperlukan tekanan kuat dari masyarakat sipil, media independen, dan komunitas internasional agar negara kembali menjalankan perannya: melindungi rakyat, bukan hanya melayani korporasi. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka May Day hanya akan menjadi seremoni tanpa makna. Saatnya berdiri bersama buruh, bukan menjadi bagian dari sistem yang menindas mereka.

May Day 2025, menjadi panggungan bagi buruh Papua untuk memperjuangkan hak mereka, menuntut pemerintah dan PTFI bertanggung jawab.

Perjuangan buruh PTFI adalah cerminan dari ketidakadilan yang terjadi di sektor ketenagakerjaan Indonesia. Tidak pedulian negara terhadap masalah ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan hak-hak buruh dihormati dan dilindungi.

Masa depan buruh Freeport tidak hanya bergantung pada keputusan perusahaan, tetapi juga pada keseriusan pemerintah dalam menangani isu-isu ketenagakerjaan yang mendesak. Mereka harus terus berjuang dan bertahan, sambil berharap bahwa keadilan substantif akan terwujud. Setiap hari adalah perjuangan, dan setiap malam adalah harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Dari sudut pandang nya, keadilan bukan sekadar kata-kata. Keadilan adalah hak untuk hidup layak, untuk dihargai, dan untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Dalam ketidakpastian ini, satu hal yang pasti: semangat juang mereka tidak akan pernah pudar. Mereka akan terus berjuang, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk semua buruh yang terpinggirkan dan terlupakan.

Mereka percaya bahwa kebenaran akan menang pada akhirnya dan bahwa mereka tidak akan sendirian dalam perjuangan ini. Dengan demikian, May Day bukan fiesta bagi buruh Freeport yang menjadi korban divestasi, melainkan hari untuk memperingati perjuangan mereka dan menuntut hak-hak mereka yang telah dirampas.