Timika, Papuadaily – Slogan “All Eyes on Papua” mencuat tak lama setelah unggahan “All Eyes on Rafah” booming di media sosial utamanya di kanal instagram. Seruan All Eyes on Papua atau ‘semua mata mengarah ke Papua’ ini menarik perhatian publik akan situasi ketidakadilan yang terjadi di Bumi Cenderawasih.
Selain isu lingkungan hidup dan terancamnya hak masyarakat adat, permasalahan yang tak dapat dielakkan yakni mengenai kasus-kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang belum diselesaikan secara berkeadilan, salah satunya peristiwa Wasior yang terjadi pada 13 Juni 2001 silam.
“23 tahun peristiwa ini berlalu, tetapi belum ada titik upaya penyelesaian secara berkeadilan yang dilakukan oleh Negara untuk memenuhi hak korban dan keluarga korban,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, Kamis (13/6/2024).
Karena itu, KontraS mendesak Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Jaksa Agung embentuk tim penyidik ad hoc sebagai tindak lanjut penyelidikan peristiwa Wasior, serta berbagai pelanggaran HAM berat yang telah dilaporkan oleh Komnas HAM.
Jokowi juga diminta segera membentuk Pengadilan HAM di Papua demi penegakan dan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua, kemudian mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua sebagai langkah awal untuk membangun dialog dan menyelesaikan konflik secara damai.
Terakhir, KontraS meminta Presiden Jokowi menjamin hak asasi orang asli Papua, termasuk hak hidup, hak ulayat masyarakat hukum adat, hak untuk berekspresi, dan hak untuk berkumpul secara damai.
Catatan KontraS:
Peristiwa Wasior bermula dari terbunuhnya 5 anggota Brimob dan seorang warga sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa (VPP) di Desa Wondiboi, Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001 dini hari. Penyerangan ini buntut dari tuntutan hak ulayat masyarakat adat ke CV. VPP yang tidak diindahkan.
Pasukan dari Polres Manokwari, Biak, Jayapura, dan Sorong kemudian diterjunkan ke Distrik Wasior dan mulai melakukan pencarian pelaku yang diketahui membawa lari 6 pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas.
Namun, berdasarkan penyelidikan Tim ad hoc Papua Komnas HAM, anggota kepolisian melakukan pembunuhan terhadap 4 orang, penyiksaan terhadap 39 orang, perkosaan kepada 1 orang, dan penghilangan secara paksa terhadap 4 orang masyarakat sipil selama proses pengejaran ini.
Pada tahun 2003, Komnas HAM telah menyelesaikan proses penyelidikan pro-justitia nya terhadap Peristiwa Wasior dan menyerahkannya ke Jaksa Agung. Namun, lagi-lagi proses ini mandek dengan alasan klise yakni belum terpenuhinya syarat-syarat suatu peristiwa untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran berat HAM, baik pada syarat formil maupun materiil.
Lebih lanjut, sesuai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU No. 21/2001 yang telah direvisi melalui UU No. 2/2021), pemerintah harusnya membentuk perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) demi penegakan dan perlindungan HAM di Papua. Namun, hingga kini pemerintah belum membentuk Pengadilan HAM dan KKR di Papua.
Oleh karena itu, dari empat kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua yang telah diselidiki secara pro justitia oleh Komnas HAM, baru dua kasus yang mencapai tahap peradilan pada tahun 2004 untuk Kasus Abepura (2000) dan 2022 untuk Kasus Paniai (2014), itu pun dilaksanakan di Pengadilan HAM Makassar dengan membebaskan terdakwa dari semua tuntutan dan tidak berhasil mengadili para pelaku sesuai prinsip pertanggungjawaban komando.
Penyelesaian semacam ini malah mempertontonkan ketidakseriusan dan ketidakbecusan pemerintah untuk memenuhi hak atas keadilan bagi korban dan mengakhiri impunitas para penjahat HAM, utamanya untuk penegakan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Bumi Cendrawasih.
Tekanan forum internasional pun tampaknya tidak mendorong upaya penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus-kasus Pelanggaran Berat HAM di Papua, termasuk Peristiwa Wasior. Dalam Sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB pada tahun 2017, pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menuntaskan kasus Pelanggaran HAM Berat di Papua, tetapi hingga pelaksanaan Sidang UPR berikutnya pada Desember 2022 lalu, belum ada tindakan yudisial yang berarti dari pemerintah. Padahal, berdasarkan pemantauan KontraS berbagai macam pelanggaran HAM terus berlanjut terhadap Orang Asli Papua.
Tercatat dari bulan Januari 2023 – Mei 2024, terdapat sebanyak 32 peristiwa kekerasan oleh Polri, 14 oleh TNI, dan 6 gabungan TNI-Polri melalui tindakan penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, intimidasi, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Alhasil, 88 masyarakat sipil terluka dan 51 tewas.
Tidak mengherankan apabila Komite ICCPR atau The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada 11-12 Maret 2024 lalu sempat menyoroti terkait situasi HAM di Papua dan mempertanyakan terkait dengan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia terhadap masyarakat Papua termasuk melalui penyelesaian yudisial yang berkeadilan terhadap kasus-kasus Pelanggaran Berat HAM di Papua. Padahal sebagai Negara pihak yang meratifikasi ICCPR atau Konvensi Internasional untuk Hak Sipil dan Politik, Indonesia semestinya membuktikan akuntabilitasnya dengan menghormati hak-hak sipil dan politik warga negaranya tanpa terkecuali.
Di tengah kemandekan penyelesaian yudisial Peristiwa Wasior, pemerintah malah terus menunjukkan ketidakseriusan untuk menghormati dan melindungi hak asasi masyarakat Papua. Sejak hadirnya Tim PPHAM, pemerintah justru berupaya mengambil jalur non-yudisial untuk memenuhi hak-hak korban melalui pemberian bantuan materialistik yang tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan standar pemulihan yang efektif berdasarkan standar hukum internasional.
Meskipun wacananya pemerintah tidak akan menegasikan penyelesaian yudisial di tengah implementasi non-yudisial, penyelesaian ini cenderung dijadikan sebagai ajang cuci tangan untuk mengabaikan proses yudisial kasus pelanggaran berat HAM.
Terlebih, Pemerintah tak kunjung mengevaluasi pendekatan keamanan yang digulirkan di Papua melainkan terus menerus mengerahkan pasukan berupa 1.142 Polri dan 6.388 personel TNI berpotensi besar menciptakan iklim ketakutan dan pembungkaman bagi masyarakat sipil serta praktik kekerasan yang terus berulang.
Bahkan, wacana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) yang disampaikan oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto memperburuk potensi iklim ketakutan serta melanggengkan militerisme di Papua. Sementara, kekayaan alam, hutan adat dan hak-hak masyarakat adat lainnya terus dikeruk tanpa mengedepankan kepentingan Orang Asli Papua.