News  

PPI Pomako sepi, John NR Gobai soroti kebijakan transhipment dan dugaan pungli

Anggota DPR Papua Tengah, John NR Gobai ketika meninjau kawasan PPI Pomako.

Timika, Papuadaily – Suasana sepi menyelimuti dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pomako, Mimika, yang dulunya menjadi pusat aktivitas kapal-kapal perikanan. Kini, area tersebut tampak kosong.

Fenomena ini menjadi sorotan serius Anggota DPR Papua Tengah, John NR Gobai, yang menilai ada masalah mendasar dalam kebijakan perikanan dan praktik lapangan di wilayah tersebut.

banner 325x300

Menurut Gobai, perubahan drastis ini terjadi sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Surat Edaran Menteri terkait kebijakan transshipment atau transitmen di laut. Akibat kebijakan tersebut, kapal-kapal tidak lagi menjadikan Pomako sebagai pelabuhan utama untuk mendaratkan hasil tangkapan.

“Kebijakan yang mungkin dimaksudkan untuk efisiensi rantai pasok justru mengunci pintu masuk rezeki bagi masyarakat pesisir,” ujar Gobai, Senin (8/9/2025).

Ia menambahkan bahwa ikan-ikan yang seharusnya dilelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kini hilang dari peredaran lokal, membuat nelayan kecil kesulitan mengakses sumber penghidupan mereka.

Lebih jauh, Gobai juga menyoroti praktik pungutan liar (pungli) yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu terhadap kapal-kapal yang ingin bersandar di Pomako. “Ada laporan tentang ‘oknum gemar japri’ yang tanpa malu meminta setoran. Ini praktik melawan hukum dan harus ditindak,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa pengelolaan perikanan seharusnya dilakukan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Gobai menilai, jika PPI Pomako dikelola dengan benar, pelabuhan ini dapat menjadi simpul strategis ekonomi kawasan. “Bayangkan jika setiap ton ikan diturunkan dan dilelang di TPI, hasilnya bisa memenuhi pasar lokal hingga menjangkau wilayah pegunungan seperti Puncak Jaya, Intan Jaya, sampai Paniai. Rantai pasok hidup, harga stabil, dan masyarakat tidak kekurangan ikan segar,” jelasnya.

Ia juga menyinggung Otonomi Khusus Papua yang seharusnya memberi ruang lebih bagi daerah untuk mengelola sumber daya alam. Namun, dalam praktiknya, kata Gobai, kebijakan pusat yang tidak berpihak serta perilaku aparat yang nakal justru mempersempit ruang hidup masyarakat adat dan nelayan.

“Otonomi seharusnya bukan slogan. Kita butuh implementasi nyata yang berpihak pada masyarakat bawah, bukan aturan yang justru menyingkirkan mereka dari sumber penghidupannya sendiri,” ucap Gobai.

Karena itu, Gobai mendesak dua hal penting. Pertama, kepada Menteri KKP, agar mencabut kebijakan transhipment di laut. Kemudian evaluasi ulang dampak sosial-ekonomi kebijakan tersebut, terutama di wilayah-wilayah luar Jawa seperti Papua.

Kedua, kepada aparat dan oknum di lapangan, hentikan kebiasaan kotor meminta setoran ilegal. Itu bukan saja melanggar hukum, tetapi juga merusak legitimasi negara di mata rakyat.

“Pomako tidak boleh menjadi dermaga kosong yang hanya menyisakan cerita. Ia harus kembali menjadi jantung ekonomi, tempat ikan diturunkan, dilelang, dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat,” pungkas Gobai.