News  

Ribuan orang termasuk WNI dipaksa menipu oleh geng kriminal Tiongkok di Kamboja

Ilustrasi

Terpikat iklan di Facebook

Dalam riset selama 18 bulan, Amnesty mengunjungi semua kecuali satu dari 53 kompleks penipuan yang tersebar di 16 kota di Kamboja, serta 45 lokasi lain yang juga diduga kuat merupakan kompleks penipuan. Banyak bangunan dulunya merupakan kasino atau hotel yang diubah oleh geng kriminal — sebagian besar dari Tiongkok — setelah pemerintah Kamboja melarang perjudian daring pada 2019.

Kompleks-kompleks ini tampak dirancang untuk mengurung orang, dilengkapi kamera pengawas, kawat berduri di sekeliling dinding, dan dijaga banyak petugas keamanan yang seringkali membawa tongkat listrik atau senjata api. Para penyintas menyatakan bahwa “melarikan diri adalah tidak mungkin.”

Sebagian besar korban dipikat ke Kamboja melalui iklan pekerjaan palsu di media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Setelah diperdagangkan, mereka dipaksa menghubungi orang-orang melalui platform media sosial dan membangun percakapan untuk menipu mereka.

Penipuan itu termasuk hubungan asmara palsu, investasi bodong, penjualan barang yang tidak pernah dikirim, atau membangun kepercayaan sebelum mengeksploitasi secara finansial, yang dikenal sebagai pig-butchering.

Semua kecuali satu dari para penyintas yang diwawancarai merupakan korban perdagangan manusia, dan semuanya mengalami kerja paksa di bawah ancaman kekerasan. Dalam 32 kasus, Amnesty menyimpulkan bahwa para penyintas mengalami perbudakan sesuai definisi hukum internasional, di mana pengelola kompleks memiliki kontrol seolah-olah menjadi pemilik mereka. Beberapa juga mengatakan telah dijual ke kompleks lain atau menyaksikan orang lain dijual. Banyak pula yang diberi tahu bahwa mereka memiliki “utang” yang harus mereka lunasi dengan bekerja.

Dari 58 penyintas, 40 mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, yang hampir selalu dilakukan oleh pengelola kompleks. Beberapa kompleks memiliki “ruang gelap” khusus untuk menyiksa mereka yang tidak bisa bekerja atau melapor ke pihak berwenang.

Penyintas sering menyebutkan adanya kematian di dalam atau sekitar kompleks; salah satunya mendengar suara tubuh jatuh di atap bangunan. Amnesty juga mengonfirmasi kematian seorang anak asal Tiongkok di sebuah kompleks.

Penyintas bernama Siti* mengaku melihat seorang warga Vietnam dipukuli selama sekitar 25 menit. “Mereka terus memukuli [orang Vietnam itu] sampai tubuhnya… ungu… lalu pakai tongkat listrik. Dipukul sampai dia tidak bisa berteriak, tidak bisa bangun… lalu bos bilang mereka tunggu sampai kompleks lain mau beli dia,” kata Siti.

Dari sembilan anak yang diwawancarai, lima mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk. Sawat*, seorang anak laki-laki Thailand berusia 17 tahun, dipukuli oleh beberapa manajer sebelum diberi tahu bahwa ia akan dilucuti pakaiannya dan dipaksa melompat dari gedung.

Kegagalan Kamboja

Amnesty International menemukan bahwa pemerintah Kamboja gagal menyelidiki pelanggaran HAM luas yang terjadi di kompleks penipuan meskipun telah diberi tahu berulang kali.

“Otoritas Kamboja tahu apa yang terjadi di dalam kompleks-kompleks penipuan, tetapi mereka membiarkannya terus terjadi. Temuan kami menunjukkan pola kegagalan negara yang memungkinkan kejahatan ini berkembang dan memunculkan pertanyaan soal motif pemerintah,” kata Montse Ferrer, Direktur Riset Regional Amnesty International.

Pemerintah mengklaim menangani krisis ini melalui Komite Nasional untuk Memerangi Perdagangan Manusia (NCCT) dan berbagai satuan tugas kementerian, yang melakukan sejumlah “penyelamatan” bersama polisi. Namun, lebih dari dua pertiga kompleks yang diidentifikasi dalam laporan ini tetap beroperasi bahkan setelah penggerebekan dan “penyelamatan.”

Di kompleks Botum Sakor, perdagangan manusia telah banyak dilaporkan media dan polisi beberapa kali melakukan intervensi, tetapi lokasi tersebut tetap terbuka.

Kegagalan polisi sebagian besar berasal dari kolaborasi mereka dengan pengelola kompleks. Dalam banyak “penyelamatan”, polisi hanya bertemu manajer atau penjaga di gerbang dan mengambil korban yang meminta bantuan, namun bisnis tetap berlanjut seperti biasa.

Dalam kasus lain, para penyintas mengatakan mereka dipukuli setelah upaya rahasia mereka menghubungi polisi terbongkar oleh bos. Seorang penyintas asal Vietnam mengatakan kepada Amnesty bahwa polisi “bekerja untuk kompleks dan akan melaporkan permintaan bantuan kepada bos kompleks.”

Mereka yang “diselamatkan” sering kemudian ditahan di pusat imigrasi dalam kondisi buruk selama berbulan-bulan — karena otoritas Kamboja tidak mengidentifikasi mereka sebagai korban perdagangan manusia dan memberi dukungan sesuai hukum internasional.

Hal itu juga menimpa Daniel, asal Indonesia. Lepas dari kompleks penipuan BS04, dia dikirim ke kantor polisi setempat di Koh Kong selama empat hari sebelum dipindahkan ke kantor polisi provinsi Koh Kong, tempat ia ditahan selama tujuh hari. Ia kemudian ditahan di Kementerian Dalam Negeri di Phnom Penh selama 20 hari dan kemudian selama 20 hari lagi di pusat penahanan imigrasi Phnom Penh.

Sementara itu, pihak berwenang justru menargetkan mereka yang mengungkap isu ini. Beberapa pembela HAM dan jurnalis telah ditangkap pemerintah Kamboja, dan media Voice of Democracy bahkan ditutup pada 2023 sebagai pembalasan atas peliputannya terkait krisis ini.

Amnesty telah mengirim temuan ini ke NCCT, yang hanya memberikan data samar soal intervensi, tanpa menjelaskan apakah negara telah mengidentifikasi, menyelidiki, atau menuntut pelanggaran HAM selain pembatasan kebebasan. Mereka juga tidak merespons daftar kompleks penipuan yang diberikan Amnesty.

“Pemerintah Kamboja sebenarnya bisa menghentikan pelanggaran ini, tapi mereka memilih tidak melakukannya. Intervensi polisi tampaknya hanya sekadar ‘pertunjukan,’” kata Montse Ferrer.

“Otoritas Kamboja harus memastikan tidak ada lagi pencari kerja yang diperdagangkan ke negara ini untuk menghadapi penyiksaan, perbudakan, atau pelanggaran HAM lainnya. Mereka harus segera menyelidiki dan menutup semua kompleks penipuan serta mengidentifikasi, membantu, dan melindungi para korban secara layak. Perbudakan berkembang ketika pemerintah memilih untuk menutup mata,” lanjutnya.

Pemerintah Indonesia harus proaktif

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kisah yang dialami Daniel dan para penyintas lain tidak saja menunjukkan buruknya Kamboja dalam menangani masalah perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa di wilayahnya.

Pemerintah Indonesia dapat memainkan peran penting untuk mendorong upaya bilateral dan regional mendesak Pemerintah Kamboja mengakhiri praktik keji ini dan melindungi para pencari kerja yang termasuk orang Indonesia.

Pemerintah Indonesia harus secara proaktif menggunakan semua kewenangan yang mereka miliki untuk memaksa pemerintah Kamboja bertindak – termasuk namun tidak terbatas pada penyelidikan terhadap individu dan penuntutan atas kejahatan internasional berupa perbudakan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya.

“Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks ini, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah semakin banyak pencari kerja termasuk warga Indonesia yang menjadi korban,” kata Usman.

Di sisi lain, Indonesia tetap memiliki posisi strategis di kawasan Asia Tenggara untuk menyerukan kepada pemerintah Kamboja dan mendorong proses regional agar ada tindakan tegas dan efektif dalam memberantas praktik perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa.

“Solidaritas regional untuk melindungi para pencari kerja khususnya pencari kerja lintas kawasan seharusnya menjadi pendorong untuk menuntut akuntabilitas, dan menjadi landasan untuk mendorong kerja sama dalam memberantas kejahatan lintas negara yang sistemik ini,” lanjut Usman.

“Yang tak kalah pentingnya juga adalah Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kamboja memiliki sumber daya yang cukup untuk terus menyediakan informasi dan dukungan mendesak bagi para pencari kerja Indonesia yang mengalami kesulitan di Kamboja, termasuk menanggapi permintaan informasi dan bantuan dari korban perdagangan manusia sesuai dengan prinsip HAM,” pungkasnya.