banner 728x250
News  

Koalisi masyarakat gugat UU TNI ke MK soroti lima persoalan utama

PAPUADAILY — Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan resmi mengajukan permohonan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 23 Oktober 2025.

Tim yang beranggotakan puluhan advokat dan pegiat hak asasi manusia ini bertindak sebagai kuasa hukum delapan pemohon, yang menilai UU TNI hasil revisi tersebut telah mengancam prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan profesionalisme militer di Indonesia.

“Permohonan ini merupakan kelanjutan dari gerakan masyarakat sipil untuk menolak perluasan jabatan militer di ranah sipil, impunitas TNI, dan perpanjangan masa pensiun jenderal,” demikian pernyataan Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan.

“Undang-undang ini tidak hanya mengabaikan partisipasi publik, tetapi juga memperkuat pengaruh militer dalam ruang-ruang sipil,” lanjutnya.

Permohonan uji materil ini diajukan oleh lima organisasi dan tiga individu. Organisasi yang menjadi pemohon meliputi Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.

Tiga pemohon perseorangan ialah Ikhsan Yosarie, dosen dan peneliti bidang pertahanan dari SETARA Institute, serta dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Adli Wafi dan M. Kevin Setio Haryanto, yang aktif melakukan kritik dan pemantauan reformasi TNI.

Dalam permohonannya, Tim Advokasi menyoroti lima persoalan utama yang dianggap melanggar prinsip konstitusi dan menghambat agenda reformasi sektor keamanan.

1. Pelanggaran terhadap kebebasan sipil dan kepastian hukum

Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 memberi kewenangan kepada TNI untuk “membantu mengatasi pemogokan dan konflik komunal” dalam operasi militer selain perang.

Koalisi menilai pasal ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena melanggar hak konstitusional untuk berserikat dan melakukan aksi mogok, serta membuka peluang penyalahgunaan kekuatan militer dalam urusan sipil.

Selain itu, frasa “konflik komunal” dinilai multitafsir dan karet, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal serupa juga terdapat pada ketentuan mengenai “ancaman pertahanan siber” yang membuka peluang keterlibatan militer dalam urusan keamanan siber yang semestinya menjadi ranah sipil.

2. Hilangnya fungsi pengawasan DPR dalam operasi militer

Pasal 7 ayat (4) yang baru mendelegasikan pelaksanaan operasi militer selain perang kepada Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah tanpa keterlibatan DPR.

Menurut koalisi, hal ini bertentangan dengan Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, serta menghapus prinsip checks and balances antara eksekutif dan legislatif.

3. Pelanggaran prinsip supremasi sipil dan pemisahan fungsi sipil-militer

Pasal 47 ayat (1) memperbolehkan prajurit aktif menuduki jabatan di lembaga sipil seperti BNN, Kejaksaan, dan Kesekretariatan Presiden.

Ketentuan ini, menurut Tim Advokasi, merupakan bentuk kemunduran serius reformasi TNI dan melegitimasi kembalinya konsep Dwifungsi ABRI, yang telah ditinggalkan sejak reformasi 1998.

4. Diskriminasi struktural dalam perpanjangan usia pensiun jenderal

Pasal 53 memperpanjang usia pensiun perwira tinggi hingga 63 tahun dengan dua kali perpanjangan.

Koalisi menilai kebijakan ini menimbulkan ketimpangan karier internal (career logjam), memperlambat regenerasi, dan melanggar prinsip kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

5. Mandeknya reformasi peradilan militer dan potensi impunitas

Pasal 74 UU TNI menunda penerapan Pasal 65 yang seharusnya membuat prajurit TNI tunduk pada peradilan umum untuk perkara pidana umum.

Penundaan ini, menurut koalisi, memperkuat impunitas dan melanggar prinsip equality before the law, karena pelaku pelanggaran pidana dari unsur militer masih diadili di bawah sistem internal militer.

Kritik terhadap Pemerintah dan DPR

Tim Advokasi menilai, secara keseluruhan, UU TNI hasil revisi mencerminkan kemunduran politik reformasi sektor keamanan. “Pasal-pasal bermasalah dalam UU ini menunjukkan upaya rekonsolidasi kekuatan militer dengan memanipulasi hukum,” tegas pernyataan koalisi.

Mereka menilai pemerintah dan DPR telah mengabaikan aspirasi publik dan prinsip demokrasi konstitusional dengan meloloskan revisi undang-undang tanpa konsultasi terbuka dan tanpa memperhatikan agenda reformasi TNI yang telah digagas sejak 1998.

“Alih-alih memperkuat profesionalisme militer dan supremasi sipil, UU ini justru menormalisasi campur tangan TNI dalam urusan sipil dan melemahkan akuntabilitas,” tutup pernyataan Tim Advokasi.