Opini  

Suara Kenabian atau Suara Partisan? Menilai Keterlibatan Gereja dalam Politik di Papua

Jake Merril Ibo

____________

Oleh: Jake Merril Ibo

Menjelang pesta demokrasi di Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Provinsi Papua Tahun 2025, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan yang tak pernah kehilangan relevansi: apakah gereja boleh terlibat dalam politik praktis? Faktanya, di berbagai tempat, mimbar gereja kadang berubah menjadi panggung kampanye terselubung. Nama-nama kandidat disebut, isyarat politik diselipkan, dan jemaat diarahkan pada pilihan tertentu. Semua ini dilakukan dengan dalih “membela kebenaran dan keadilan” atau “menyuarakan suara Tuhan.” Namun, benarkah demikian? Ataukah gereja sedang membungkus kepentingan manusia dengan jubah rohani?

Bahaya Mencampur Firman dengan Kepentingan

Sejarah membuktikan, ketika gereja mengikatkan dirinya pada satu kekuatan politik, yang pertama kali dikorbankan adalah persatuan dan persekutuan jemaat, dan yang hilang paling lama adalah kepercayaan publik.

Di mimbar-mibar gereja menyongsong PSU, banyak pengkhotbah memproduksi kesalahan atribusi di atas mimbar. Sesungguhnya, bahasa di mimbar gereja tidak boleh mengandung kesalahan atribusi. Mengapa? karena:

  1. Menjaga kebenaran teologis – Setiap pernyataan yang disampaikan harus sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan ( Exegese/ekposisi), bukan opini pribadi yang dibungkus ayat untuk memperkuat agenda tertentu (eisegeses/kesalahan interpretasi).
  2. Menjaga integritas pewarta – Kesalahan atribusi (mengutip ayat atau tokoh secara keliru) membuat pendengar kehilangan kepercayaan.
  3. Menghindari manipulasi rohani – Salah atribusi sering dipakai untuk melegitimasi pandangan atau pihak tertentu. Di mimbar, hal ini bisa menjadi bentuk penyalahgunaan otoritas rohani.
  4. Membentuk teladan bagi jemaat – Jemaat belajar cara berbahasa, berpikir, dan mengkritisi dari apa yang mereka dengar melalui mimbar rohani. Jika bahasa mimbar tidak akurat, jemaat pun akan terbiasa dengan ketidakakuratan.

Standar Bahasa Mimbar yang Etis

Seharusnya di atas mimbar gereja perlu memiliki pedoman bahasa mimbar Gereja yang benar dan etis, minimal yang perlu dilakukan dengan serius oleh pemberita injil untuk memperoleh bahasa mimbar yang berkualitas Adalah:

  1. Ujilah Setiap Kutipan dengan Sumber Asli
    Pastikan ayat Alkitab, perkataan tokoh, atau data yang disampaikan benar-benar sesuai sumber aslinya—bukan dari ingatan samar atau kutipan yang lazim dipakai yaitu “katanya”.
  2. Pisahkan Firman dari Opini
    Bedakan dengan jelas mana yang merupakan kebenaran Alkitab dan mana yang adalah pandangan pribadi. Gunakan frasa seperti “menurut saya” atau “dari sudut pandang saya” jika itu bukan perintah atau ajaran eksplisit Firman. Opini pemberita firman tidak boleh equal dengan Firman Allah.
  3. Hindari Memelintir Teks untuk Kepentingan Tertentu
    Di atas mimbar seharusnya tidak menggunakan ayat di luar konteks untuk membenarkan agenda politik, ekonomi, atau kelompok tertentu. Mimbar adalah ruang untuk mengajar kebenaran, bukan untuk mengarahkan pilihan pribadi jemaat.
  4. Gunakan Bahasa yang Membangun dan Menghormati
    Di mimbar gereja seharusnya kritik atau teguran disampaikan dengan bahasa yang santun, jelas, dan tegas, tanpa merendahkan atau menyerang pribadi. Prinsipnya: menegur dengan kasih, mengajar dengan rendah hati.
  5. Latih Kepekaan dan Tanggung Jawab
    Ingat bahwa setiap kata dari mimbar memiliki bobot rohani dan moral. Pemberita Injil seharusnya melatih diri untuk berbicara dengan teliti, penuh kuasa Roh Kudus, dan menyadari bahwa kata-kata yang keluar dari kebenaran sangat mempengaruhi iman, pikiran, dan tindakan jemaat.

Gereja: Menara Pengawas, Bukan Markas Politik

Sebagai seorang Pendeta GKI, Saya percaya gereja wajib bersuara ketika keadilan diinjak, korupsi merajalela, dan suara rakyat kecil dipinggirkan. Namun, tanggung jawab profetis itu berbeda dari politik praktis yang memihak pada satu calon atau partai. Gereja bukanlah “markas besar” yang bertugas memenangkan kandidat, melainkan “menara pengawas” yang memberi peringatan moral kepada semua pihak, siapapun dia tanpa memandang suku, agama, ras dan budaya. Jika gereja memilih menjadi partisan, maka di hari kemenangan politik nanti ketika itu diraih atas dukungan gereja, gereja pun akan ikut merasakan kekalahan moral ketika kekuasaan yang didukungnya ternyata menyimpang atau tidak dapat mewujudkan cita-cita gereja. Lebih berbahaya lagi, gereja akan kehilangan otoritas untuk mengoreksi kesalahan pemimpin yang diusungnya, karena telah duduk terlalu dekat dengan meja kekuasaan.

Lalu bagaimana jika kandidat yang didukung gereja kalah? Sebelum gereja mengangkat tangan memberkati kandidat, mestinya pimpinan gereja telah bertanya pada hati nurani: apakah ini suara Tuhan atau suara kepentingan? Ingatlah, bila kandidat yang gereja usung dan doakan kalah di depan publik, bukan hanya nama kandidat itu yang jatuh—tetapi wibawa gereja, kepercayaan jemaat, dan kesaksian Injil ikut retak. Mimbar yang tadinya tempat Firman mengalir, berubah menjadi panggung politik yang penuh debu pertarungan manusia. Apakah gereja sudah siap melihat jemaat terbelah, sebagian meninggalkan gereja karena merasa diasingkan? Apakah gereja rela pemerintah terpilih menutup telinga, menutup mata hati,  karena menganggap gereja yang selama ini menjadi mitra pemerintah, sekarang menjadi “lawan politik” yang kalah dan menjadi oposisi pemerintahan terpilih? Dan bagaimana nanti kita menjawab di hadapan Kristus, bila orang luar berkata: “Gereja-gereja di Papua sama saja seperti partai politik, hanya berbeda bendera”?

Mercusuar Tidak Boleh Hanyut        

Gereja di Papua adalah mercusuar di tengah gelombang. Bila mercusuar itu ikut hanyut, siapa lagi yang akan memandu kapal-kapal yang hampir karam? Hati-hati, para gembala, pendeta, penatuan, syamas. Salah satu ujian terbesar iman kita bukanlah saat kita kalah di politik, tetapi saat kita mampu menolak godaan untuk memainkannya.

Karena itu, saya mengajak para pemimpin gereja di Papua dan di seluruh Indonesia untuk mengambil posisi terhormat: tidak menjadi alat politik siapapun, tetapi menjadi pembentuk karakter warga negara yang cerdas, kritis, dan berintegritas. Gereja harus mempersiapkan semua kandidat untuk siap menang tanpa sikap sombong, angkuh, atau merasa diri lebih unggul daripada orang lain dan siap kalah tanpa dendam, amarah dan kecewa. Dunia tidak sedang menunggu gereja menjadi pendukung calon, melainkan menunggu gereja menjadi saksi kebenaran yang berani menegur siapapun, kapanpun, tanpa takut kehilangan undangan makan malam di rumah para penguasa. Inilah jalan yang akan menjaga gereja tetap murni, netral, dan kuat—serta memastikan bahwa suara yang keluar dari mimbar benar-benar suara Tuhan, bukan gema kepentingan politik sesaat.

“Jika gereja terus bermain di gelanggang politik praktis, cepat atau lambat jemaat akan berhenti melihat mimbar sebagai tempat suci dan mulai melihatnya sebagai panggung propaganda. Dan pada hari itu, gereja tidak hanya kehilangan wibawa di mata dunia, tetapi juga kehilangan kepercayaan di hadapan Tuhan yang memanggil gereja bukan untuk memenangkan kursi kekuasaan, melainkan untuk memenangkan hati manusia bagi kerajaan-Nya.”

Disclaimer:

Saya, Pendeta GKI di Tanah Papua [Jake Merril Ibo], menyatakan dengan tegas bahwa dalam kapasitas saya sebagai Direktur Pusat Bantuan Mediasi GKI, saya tidak berpihak dan tidak mendukung kandidat manapun dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Papua.

Sikap ini diambil demi menjaga integritas pelayanan, memelihara netralitas gereja, serta memastikan bahwa semua jemaat, tanpa memandang pilihan politik, tetap merasakan kasih, bimbingan, dan pelayanan yang setara dari gereja.

Segala pandangan, analisis, atau kritik yang saya sampaikan bersifat murni sebagai masukan moral, etis, dan rohani demi kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan politik praktis pihak manapun.