Tuntutan Memalukan dan Pelenyapan Ruang Sipil di Kasus Haris-Fatia

Ilustrasi

Amnesty International Indonesia menanggapi dengan kekhawatiran atas tuntutan terhadap dua tokoh pembela hak asasi manusia, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, dakwaan memalukan ini akan berdampak buruk pada kerja-kerja para pembela hak asasi manusia di Indonesia.

Alih-alih melindungi hak atas kebebasan berekspresi, kata Usman, pemerintah Indonesia justru melenyapkan ruang sipil. Tuduhan membabi buta pun tak terelakkan di ruang sidang tatkala jaksa mati-matian membela Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan.

“Dakwaan-dakwaan yang mengkhawatirkan ini menggambarkan meningkatnya penindasan yang dihadapi oleh para aktivis yang menyampaikan pendapat berbeda,” sebut Usman.

Jauh lebih menyedihkan ketika jaksa menuduh Haris Azhar mendapat keuntungan dari konten “Lord Luhut” di akun YouTube miliknya. Jaksa juga menyebut Haris dan Fatia seolah berlindung sebagai aktivis HAM dan lingkungan.

Karena itu, Amnesty mendesak pihak berwenang Indonesia untuk segera membebaskan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dari segala tuntutan.

“Hak atas kebebasan berekspresi harus dihormati dan dijamin”

Usman Hamid

Jaksa menuntut dua tokoh pembela hak asasi manusia Indonesia, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, atas tuduhan pencemaran nama baik. Jaksa menuntut Fatia dipenjara tiga tahun enam bulan, dan Haris empat tahun. Mereka dianggap bersalah setelah digugat Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut mengajukan gugatan pencemaran nama baik terhadap Fatia dan Haris pada September 2021. Keduanya dijerat polisi pada 17 Maret 2022 dengan pasal pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

“Amnesty International Indonesia telah menyuarakan keprihatinan terkait ketentuan bermasalah dalam UU ITE Indonesia, termasuk ketentuan ini,” kata Usman.

Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 1.021 pembela HAM diadili, ditangkap, diserang dan diintimidasi oleh berbagai aktor sejak Januari 2019 hingga Desember 2022.

Sementara itu, setidaknya ada 332 orang yang didakwa berdasarkan UU ITE, sebagian besar diantaranya adalah dituduh melakukan pencemaran nama baik, antara Januari 2019 hingga Mei 2022.