Legislator: Perda Pelarangan Miras di Mimika Masih Berlaku, Belum Dibatalkan

Karel Gwijangge. Foto: DIURNAL/Sevianto Pakiding

TIMIKA – Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelarangan Minuman Keras Beralkohol adalah satu-satunya produk inisiatif DPRD Mimika yang pada akhirnya gagal diterapkan. Perda No 5 tahun 2007 ini digagas legislatif Mimika periode 2004-2009 silam.

Legislator senior di DPRD Mimika Karel Gwijangge mengatakan, DPRD periode kedua sejak Kabupaten Mimika terbentuk menggagas Perda Miras karena desakan situasi. Ketika itu terjadi konflik antarsuku, antarkelompok, dan berbagai dinamika sosial yang dipicu pengaruh miras.

“Konflik berturut-turut lebih khusus di Kwamki Narama. Kemudian ada kekerasan dalam rumah tangga, ada kecelakaan lalu lintas. Awalnya semua dari miras,” ucap Karel yang juga Ketua Fraksi PDIP, berbicara kepada Jurnalis Diurnal.id pada Senin 20 November 2023.

Ironisnya, Perda No 5 Tahun 2007 itu oleh pemerintah pusat dianggap bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Padahal, menurut Karel, salah satu hal mendasar yang menimbang pembentukan Perda Miras tersebut adalah UU Otonomi Khusus.

Mestinya, kata dia, perlu ada kekhususan-kekhususan di Papua sesuai semangat UU Otsus itu dibuat. Apalagi miras ini dinilai tidak ada manfaat untuk orang Papua. Justru amat merugikan. Dari sisi retribusi, kontribusi miras juga tidak seberapa bagi Mimika dengan PAD yang cukup besar dari sektor pertambangan.

“Jadi tidak perlu sebenarnya (ada bisnis miras). Tapi Perda ini sampai sekarang pemerintah tidak sosialisasi kemudian tidak diterapkan. Pemerintah pusat sampaikan bahwa itu bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, kami di Mimika bilang justru bertentangan dengan kondisi di lapangan. Tidak bermanfaat,” tegas Karel.

Karenanya, legislator yang keras membela hak-hak orang asli Papua ini mempertanyakan kekhususan UU Otsus. Sebab bukan Perda Miras ini saja yang gagal. Produk Perdasus dan Perdasi di provinsi juga kerap dianggap menabrak undang-undang yang lebih tinggi.

“Pertanyaannya, bagaimana dengan UU Otsus, dimana kekhususannya. Kalau kekhususannya itu ada, mestinya perda ini bisa dilaksanakan,” katanya.

Kendati begitu, Karel mengatakan Perda Miras tahun 2007 ini sebenarnya masih berlaku. Dewan sampai hari ini belum membatalkan Perda pelarangan miras tersebut. Hanya saja, pelaksanaan teknis terkendala lantaran ada tahapan yang belum dilakukan, misalnya sosialisasi oleh eksekutif.

“Perda pelarangan miras masih berlaku karena belum dibatalkan. Sebenarnya pemerintah kabupaten harusnya sosialisasi dan diterapkan perda miras ini. Tapi sampai sekarang ya pemerintah Mimika anggap bahwa itu bertentangan dengan undang-undang di atasnya,” kata dia.

Sekali lagi, Karel menekankan bahwa miras menjadi salah satu biang berbagai masalah sosial di Mimika. Retribusi miras juga sama sekali tidak setimpal dengan masalah yang ditimbulkan. Sebut saja kecelakaan lalu lintas yang sudah merenggut banyak nyawa, KDRT, asusila, dan berbagai kasus kriminal lainnya dipicu pengaruh miras.

“Jadi ini (miras) sebenarnya tidak layak sama sekali, tidak boleh lagi ada izin miras. Masyarakat Mimika ini sama, suka konsumsi miras. Kecelakaan tabrak sana sini, kekerasan rumah tangga, semua karena miras. Sekarang kasihan anak-anak kami di Mimika hidupnya rusak,” ujarnya.