Profesor Al-Aqsa: Suara Paus Fransiskus Lebih Jelas soal Gaza, Perlu Didengar

Umat Muslim berdoa pada malam Laylat al-Qadr, salah satu malam paling suci selama bulan puasa Ramadan, di luar "Dome of the Rock" di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem 17 April 2023. (foto: AFP)

Seruan Paus Fransiskus untuk gencatan senjata di Gaza adalah “suara yang lebih jelas” dan perlu didengar lebih banyak lagi, kata Profesor Mustafa Abu Sway – Ketua Imam Al Ghazali di Al-Masjid Al-Aqsa, salah satu situs paling suci umat Islam.

Dalam sebuah wawancara dengan Vatican News, profesor Palestina – yang juga mengajar di Universitas Al-Quds Yerusalem – membahas krisis kemanusiaan di Gaza, peran Gereja Katolik dalam membangun perdamaian, dan bagaimana keyakinan Islam membantunya melewati masa-masa sulit ini.

Karena dia berbasis di Yerusalem, Profesor Abu Sway mengatakan dirinya baik-baik saja, secara relatif. Namun dia menggambarkan tekanan psikologis, kesedihan, frustrasi saat mengikuti situasi di Gaza dan Tepi Barat bagian utara dari jauh.

“Ini benar-benar sesuatu yang baru. Pembantaian tak terkendali ini disiarkan langsung ke seluruh dunia. Inilah yang membedakan peristiwa ini dari perang-perang sebelumnya, kami memiliki gambaran tentang semua penderitaan,” katanya.

“Satu anak meninggal setiap sepuluh menit di Gaza,” kata salah satu tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia ini, dilansir media resmi Vatikan – Vatican News, Jumat (17/11/2023).

Meskipun demikian, Abu Sway mengatakan, bukan sekedar kematian seorang anak, melainkan kelangsungan hidup seorang anak, yang membuat dirinya sangat sedih.

Sebuah video tersiar sebelum wawancaranya dengan Vatican News, Abu Sway menyaksikan dengan nurani yang bergejolak, ketika seorang anak yang terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan dan berusaha membebaskan dirinya dengan satu tangan.

Profesor Abu Sway

Menurut Sway, fakta bahwa sebagian besar penderitaan warga Palestina diabaikan oleh pemerintah Barat. Ini mengingatkannya pada perkataan Yesus bahwa “mereka hampir tidak bisa mendengar dengan telinga, dan mereka menutup mata”.

Peran Gereja

Profesor Abu Sway mencatat bahwa meskipun banyak negara Barat menolak menyerukan gencatan senjata, tapi “untungnya ada suara yang jelas dari Paus Fransiskus”.

Paus Fransiskus, sebut dia, memiliki suara moral yang perlu didengar lebih banyak lagi. Dan Gereja Katolik, lanjut dia, adalah bagian tak terpisahkan dari mosaik Palestina, tatanan sosial.

“Kita telah bersama-sama melakukan hal ini selama puluhan tahun penderitaan manusia. Dan kami berbicara dengan satu suara moral,” ucapnya.;

Profesor Abu Sway juga menyetujui Dokumen Kairos, sebuah teks yang ditulis oleh berbagai pemimpin Kristen Palestina mengenai konflik Israel-Palestina.

Spiritualitas di saat krisis

Percakapan kemudian beralih ke keyakinan Islam Profesor Abu Sway, dan bagaimana hal itu membantunya melewati masa-masa sulit.

“Banyak orang di Barat,” katanya, “telah memperhatikan bahwa orang-orang yang kehilangan seluruh keluarganya, mereka terus-menerus mengucapkan, ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah’.

“Orang-orang bingung,” kata AbuSway. “Mengapa umat Islam mengucapkan ‘Terima kasih Tuhan’ ketika mereka dilanda tragedi seperti itu?”

“Kami melakukannya,” jelasnya, “mengucapkan ‘Puji Tuhan’ untuk setiap keadaan, karena mengetahui bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan, namun juga mengetahui bahwa masyarakat benar-benar dapat bertindak untuk menghentikan semua kekerasan ini.”

“Jadi kita mempunyai sumber daya spiritual ini, dan kita juga tahu bahwa segala sesuatu di alam semesta benar-benar berada dalam kekuasaan Tuhan, dan bahwa kehendak Tuhan pada akhirnya yang menang.”

Harapan untuk masa depan

Beralih ke visinya untuk perjanjian perdamaian di masa depan, Profesor Abu Sway menyatakan harapannya bahwa “peristiwa tragis ini akan membangkitkan kesadaran manusia”.

“Kami hanya berharap mereka yang dapat membuat perbedaan dapat mengambil keputusan yang tepat, dan mengambil sisi sejarah yang benar,” katanya.

Penyelesaian perdamaian pada akhirnya, tegas dia, harus melibatkan pengakhiran permusuhan, penghentian pendudukan, dan penerapan solusi dua negara di sepanjang perbatasan 4 Juni 1967.

“Kami hanya perlu hidup berdampingan dan memberikan waktu untuk menyembuhkan luka sebanyak mungkin,” pungkasnya.