DIURNAL – Gereja-gereja di Yordania membatalkan perayaan Natal pada Desember 2023 mendatang, sebagai bentuk solidaritas terhadap Gaza ketika kekerasan di wilayah Palestina itu semakin memburuk.
Para pemimpin Dewan Gereja Yordania pada 5 November lalu resmi mengumumkan pembatalan semua perayaan Natal, untuk mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya krisis kemanusiaan yang melanda warga sipil Palestina di Gaza.
Dilansir The Union of Catholic Asian News (UCA)–layanan media Katolik independen terkemuka di Asia, bahwa Dewan Gereja menyerukan perayaan Natal di Yordania hanya melalui doa dan ritual keagamaan.
“Ini sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban tidak bersalah dan pengorbanan yang dilakukan oleh warga Gaza dan Tepi Barat,” tulis UCA News melansir OSV News.
Pastor Rifat yang memimpin Pusat Studi dan Media Katolik di ibu kota Yordania, mengatakan bazar Natal, pembagian hadiah untuk anak-anak, inisiatif dekorasi dan parade seluruhnya akan dibatalkan.
“Kami membatalkan perayaan Natal secara eksternal. Keputusan ini dibuat untuk fokus pada makna spiritual Natal – kelahiran Yesus. Ini adalah solidaritas dengan masyarakat Gaza,” kata Pastor Rifat.
“Kami hanya akan fokus pada perayaan keagamaan, termasuk kebaktian dan nyanyian di dalam gereja dan tidak ada apa pun di luar gereja,” jelas Pastor Bader.
Juga dilansir media resmi Vatican–vaticannews.com, bahwa sebuah pernyataan Dewan Kepala Gereja di Yordania telah mengumumkan pembatalan semua perayaan Natal tahun ini, untuk menghormati para korban.
Perayaan, menurut mereka, akan dibatasi hanya pada doa dan upacara gereja, dan semua sumbangan gereja pada Minggu depan akan disalurkan ke Jalur Gaza untuk kepentingan rakyat yang menderita.
Gereja mendorong umat beriman untuk memberikan sumbangan melalui saluran resmi yang disediakan oleh beberapa gereja di Yordania untuk tujuan ini, para pemimpin agama menyerukan doa perdamaian dan keharmonisan.
“Kami berdoa di semua gereja di Kerajaan pada hari Minggu ini untuk perdamaian dan harmoni,” bunyi seruan itu.
Pernyataan Para Uskup Eropa
Dalam sebuah pernyataan mengenai perang di Tanah Suci, para pemimpin gereja di Eropa menyoroti fakta bahwa “penghancuran kehidupan tidak menghasilkan kebebasan, kebenaran, keadilan” dan mereka menyerukan komunitas internasional untuk bergerak menegakkan hukum internasional dan mendorong “negosiasi serius” untuk perdamaian.
Deklarasi yang dikeluarkan oleh Komite Gabungan Dewan Uskup Eropa (CCEE) dan Konferensi Gereja-Gereja Eropa (CEC) pada tanggal 7 November, para penandatangan mengutuk kekerasan di Timur Tengah, menyerukan para pemimpin politik di seluruh dunia agar mereka melaksanakan tanggung jawab memastikan gencatan senjata di semua lini.
“Kami menuntut agar para pemberontak diadili, seluruh kehidupan warga sipil – Yahudi, Kristen dan Muslim – dilindungi, dan koridor kemanusiaan dibuka untuk memungkinkan akses terhadap perawatan dan evakuasi,” bunyi pernyataan tersebut.
“Kami menuntut agar semua kehidupan warga sipil dilindungi dan koridor kemanusiaan dibuka,” lanjut pernyataan itu.
Deklarasi tersebut selanjutnya mencatat: “Situasi buruk yang dialami masyarakat Gaza, yang hak-hak dasar mereka dibatasi dan dipaksa menderita ketidakadilan, telah berlangsung terlalu lama”.
“Kami menuntut seluruh komunitas internasional untuk memobilisasi dan menegakkan hukum internasional, khususnya resolusi PBB, dengan tujuan membuka negosiasi serius untuk menciptakan perdamaian abadi, dalam kebenaran dan keadilan,” kata pernyataan itu.
“Negosiasi yang serius harus bertujuan untuk menciptakan perdamaian abadi, dalam kebenaran dan keadilan,” tegas pernyataan tersebut.
Pernyataan itu menyusul seruan Paus Fransiskus pada hari Minggu (5/11/2023) yang turut mengumandangkan gencatan senjata, seiring terus berlanjutnya perang antara Israel-Hamas.
“Saya berharap semua jalan yang memungkinkan ditempuh sehingga dapat mencegah meluasnya konflik. Segera bebaskan semua sandera (karena) di antara mereka juga banyak terdapat anak-anak. Semoga mereka dapat segera kembali ke keluarga,” kata Paus.