Tagar All Eyes on Papua Makin Menggema, Bermula dari Perjuangan Suku Awyu

Masyarakat adat Awyu dan Moi asal Papua Barat demonstrasi di gedung Mahkamah Agung dengan mengenakan pakaian adat pada 27 Mei 2024. (Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace)

Papuadaily – Tagar #AllEyesOnPapua menggema begitu cepat di berbagai platform media sosial. Tagar ini bermula ketika Suku Awyu melakukan aksi damai dan ritual adat di depan Mahkamah Konstitusi pada 27 Mei 2024.

Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, berjuang melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka.

Greenpeace Indonesia melansir, hutan Papua adalah benteng terakhir – tidak hanya bagi warga asli Papua, tetapi juga bagi Bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis iklim.

“Oligarki sudah menancapkan gurita bisnis ekstraktifnya, dan merusak jutaan hutan di Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi sejak 5 dekade terakhir,” dikutip Greenpeace, Kamis (13/6/2024).

Bisnis ekstraktif itu dilakukan dengan embel-embel investasi dan pembangunan.  Memang industri ekstraktif ini mendatangkan nilai ekonomi, namun model bisnis ekstraktif ini hanya memandang alam sebagai sesuatu yang harus dikeruk sampai habis.

Jika komoditasnya sudah habis, industri tersebut tutup dan cari wilayah lain untuk dikeruk. Masalah barupun muncul: ketimpangan ekonomi karena pengangguran baru, dan masalah kerusakan lingkungan. Padahal, dampak ekonominya hanya dinikmati segelintir orang, lalu masalah dampak lingkungannya dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Suku Awyu dan Suku Moi adalah salah satu yang terdampak dari model ekstraktif ini, tanahnya terancam oleh banyak perusahaan besar untuk diolah menjadi perkebunan sawit. Dengan kata lain masyarakat adat ini akan dirusak tempat tinggalnya secara paksa. Padahal hutan adat ini adalah sumber dan penopang kehidupan sejak jaman leluhur mereka dahulu. 

Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu. 

Namun gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun. 

Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata Rikarda Maa, perempuan adat Awyu. 

Perjuangan Suku Awyu tak lantas padam, Maret 2024, Hendrikus dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang ditandai dengan penyerahan memori kasasi ke PTUN Jayapura. Sejumlah anak muda adat pun turut menggelar aksi damai di PTUN Jayapura untuk mengiringi penyerahan memori kasasi tersebut.