News  

Usai dihalangi di RSUD, laporan keluarga korban insiden Mile 60 ditolak Polres Mimika

(dari kiri) Kuasa Hukum korban Agli Haryo Elkel, saudara kandung korban Afisa Rumakat, Ketua Kerukunan Seram Bagian Timur Ali Derlean.

Timika, Papuadaily – Insiden penembakan pendulang di Mile 60 area operasi PT Freeport Indonesia (PTFI) pada Sabtu (5/7/2025) menuai polemik. Dua versi kronologis berbeda membuat peristiwa itu memantik tanda tanya.

Kuasa Hukum korban, Agli Haryo Elkel, mengatakan ketika itu enam orang pendulang sedang berada dalam tenda/camp di Mile 60. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan membuat para pendulang itu kaget dan melarikan diri.

Menurut Agli, saat melarikan diri kliennya bernama RR ditembak sebanyak 8 kali. Setelah ditembak, RR kemudian terjatuh lalu dipukul oleh anggota Satgas Amole.

“Terdapat 8 luka tembak pada bagian paha kiri. Sementara dua korban lainnya terjatuh, salah satunya terkena kayu. Keduanya juga dipukuli oleh anggota Satgas Amole,” kata Agli dalam Konferensi Pers di Timika, Senin (7/7/2025).

Satgas Amole menyebut tindakan itu dilakukan setelah menerima aduan dari SRM PTFI terkait pemotongan pipa konsentrat aktif maupun non aktif serta pipa solar yang telah terjadi sebanyak 14 kali sejak 21 Juni 2025 hingga 4 Juli 2025.

Satgas Amole juga mengeklaim telah melakukan pendekatan persuasif, namun para terduga pelaku berusaha melarikan diri sehingga dilakukan tindakan tegas terukur menggunakan amunisi karet.

“Selanjutnya petugas mengamankan tiga orang terduga pelaku sindikat pemotongan pipa dan mengumpulkan barang bukti di TKP,” kata Kepala Operasi Amole, Kombes Pol Irwan Yuli Prasetyo, dalam keterangan tertulis, Senin.

Dilarang ketemu korban

Kendati begitu, keluarga korban mempertanyakan sikap aparat keamanan bersenjata lengkap yang sempat menghalangi mereka ketika hendak melihat kondisi korban yang sedang dirawat di RSUD Mimika.

“Kami dicegat oleh anggota Satgas Amole. Kami tidak diperbolehkan mengunjungi korban. Kami menanyakan legalitas mereka menjaga klien kami,” ujar Agli.

Adapun korban RR menjalani perawatan setelah menderita sejumlah luka tembak. RR juga harus menjalani operasi lantaran salah satu amunisi karet bersarang di tubuhnya.

“Kami menanyakan status klien kami, kalau sebagai tersangka mungkin tidak masalah dijaga begitu ketat. Kami mengerti prosedur hukumnya. Tetapi status klien kami ini bahkan tidak jelas,” ucap Agli.

Setelah terjadi perdebatan panjang, Agli kemudian diizinkan memasuki ruang perawatan korban. Namun, ia merasa tak nyaman dengan adanya dua orang anggota Satgas Amole menenteng senjata laras panjang di ruang perawatan.

“Kami keberatan. Namun kami apresiasi pihak RSUD melalui juru bicaranya Lucky Mahakena yang kemudian berkoordinasi sehingga pasukan bersenjata itu diikeluarkan dari ruang perawatan,” kata Agli.

Laporan ditolak

Pada Senin sore, Tim Kuasa Hukum korban mendatangi Polres Mimika bermaksud membuat Laporan Polisi (LP) terkait kasus penembakan itu. Namun, laporan mereka ditolak.

“Kami justru diarahkan ke Dumas (pengaduan masyarakat). Kami terlibat perdebatan selama hampir satu jam. Mereka kemudian menyampaikan bahwa laporan tidak bisa diterima karena perintah pimpinan (Kasi Propam),” ucap Agli.

Padahal, Agli mengatakan pihaiknya bermaksud melaporkan kasus ini untuk menguji kebenaran dari dua versi kronologis kejadian yang berbeda.

“Ini yang menurut kami harus dipastikan dan diuji melalui jalur hukum. Apakah korban yang benar ataukah versi Satgas Amole. Mari kita uji kebenarannya, itu maksud kami,” ujarnya.

“Kami menilai, Polres Mimika telah melanggar UU No 8 tahun 1981 dan Peraturan Kapolri No 7 tahun 2022,” sambungnya.

banner 325x300
banner 468x60