banner 728x250
News  

Hakim tolak praperadilan Delpedro Dkk, Amnesty: menormalisasi pembungkaman aktivis

PAPUADAILY – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam sidang putusan praperadilan, Senin (27/10/2025), menolak permohonan empat aktivis yang ditangkap pasca-aksi massa di akhir Agustus 2025.

Para aktivis itu yakni pegiat HAM dari Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim, Syahdan Husein (aktivis Gejayan Memanggil), dan Khariq Anhar (aktivis Aliansi Mahasiswa Penggugat asal Riau).

Keempat aktivis tersebut mengajukan praperadilan sebagai pihak pemohon untuk menguji keabsahan penangkapan, penyitaan, penahanan hingga penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya, sebagai pihak termohon dalam kasus dugaan penghasutan unjuk rasa berujung kerusuhan akhir Agustus 2025 lalu.

Amnesty International Indonesia menilai putusan hakim PN Jakarta Selatan terhadap permohonan praperadilan sejumlah aktivis yang menggugat tindakan hukum Polda Metro Jaya sebagai langkah mundur dalam penegakan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai hakim tunggal praperadilan gagal menimbang bukti secara objektif dan mengabaikan rasa keadilan publik.

“Hakim tunggal praperadilan di PN Jakarta Selatan kurang adil dalam menimbang bukti-bukti yang diajukan para tersangka. Hakim juga kurang memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Putusan ini dapat menormalisasikan pembungkaman kebebasan berekspresi,” ujar Usman.

Menurut Usman, hakim seharusnya berperan sebagai pengawas terakhir terhadap dugaan pelanggaran asas peradilan yang adil (fair trial). Ia menilai, fakta-fakta yang disampaikan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) seharusnya cukup kuat untuk membatalkan tindakan hukum kepolisian.

TAUD sebelumnya memaparkan sejumlah pelanggaran prosedur, antara lain penetapan tersangka tanpa pemeriksaan awal sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, serta penyitaan barang bukti tanpa izin pengadilan.

“Fakta-fakta ini seharusnya menjadi dasar hakim untuk mengoreksi tindakan polisi. Namun, hakim justru memperkuat pengabaian prinsip due process of law,” tegas Usman.

Ia menilai, penolakan praperadilan tersebut mencerminkan represi negara terhadap aktivis yang menyuarakan keresahan masyarakat. Padahal, kata Usman, menyampaikan pendapat secara damai merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, Indonesia akan semakin menjauh dari prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi HAM. Negara seharusnya melindungi warga yang menyampaikan kritik, bukan menjadikannya musuh yang harus dipenjara,” tandasnya.

Amnesty International pun mendesak Polda Metro Jaya untuk segera menghentikan seluruh proses hukum terhadap para aktivis yang ditangkap saat aksi unjuk rasa damai pada Agustus lalu, serta memastikan tidak ada lagi kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.

Pelanggaran prosedur

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) sebagai kuasa hukum para aktivis, membeberkan beberapa pelanggaran prosedur oleh kepolisian dalam menangkap dan menahan para aktivis tersebut. Di antaranya, penetapan tersangka oleh polisi tidak sah karena keempat aktivis itu tidak pernah diperiksa sebagai “calon tersangka” sebagaimana merupakan syarat penetapan tersangka dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

Lalu tidak sahnya polisi melakukan penyitaan barang-barang milik para aktivis karena dilakukan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. TAUD juga mendapati tidak sahnya penangkapan para aktivis tersebut karena mereka sebelumnya belum pernah dipanggil atau diperiksa polisi.

Menurut pantauan Amnesty, sidang putusan praperadilan empat aktivis tersebut digelar terpisah. Pagi hari, hakim memberi putusan atas permohonan Khariq Anhar, lalu dilanjutkan pada siang hari atas permohonan Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, dan Syahdan Husein.

Suasana sidang praperadilan Khariq pagi tadi sempat ricuh saat petugas keamanan pengadilan berupaya melarang pengunjung di luar ruang sidang membentangkan poster-poster dukungan bagi para aktivis. Tampak pula seorang polisi berseragam merebut selembar poster, lalu melemparnya sambil berteriak “Ambil, Ambil!” Hal tersebut mengundang protes dari para pengunjung.

Setelah hakim memutuskan menolak permohonan mereka, kini keempat aktivis tersebut tetap berstatus tersangka kasus dugaan penghasutan terkait aksi unjuk rasa dan harus menjalani proses hukum selanjutnya.

Amnesty International Indonesia mencatat, keempat aktivis yang mengajukan praperadilan tersebut merupakan bagian dari 12 aktivis yang ditahan sebagai tersangka kasus penghasutan pasca-demo akhir Agustus lalu.

Sebagai tersangka, para aktivis dijerat Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat (3) jo. Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.