Timika, Papuadaily – Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mimika mencatat, angka kemiskinan di Mimika, Papua tengah per 2024 naik menjadi 14,18 persen atau sekitar 32,09 ribu jiwa.
Berdasarkan data yang dimiliki BPS Kabupaten Mimika, angka ini naik dari angka sebelumnya di mana presentase penduduk miskin di Mimika 13,55 pada tahun 2023.
Angka kemiskinan di Kabupaten Mimika dalam kurun waktu 11 tahun terakhir pun terlihat terus mengalami fluktuasi.
Pada tahun 2014, jumlah penduduk miskin di Mimika sebanyak 32,22 ribu jiwa, kemudian di tahun 1015 naik menjadi 32,85 ribu jiwa.
Di tahun 2016, jumlah penduduk miskin kembali mengalami penurunan, yakni sebanyak 30,12 ribu jiwa, dilihat dari grafik tahunan presentase dan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Mimika tahun 2010 hingga 2024.
Lalu, pada tahun 2017 jumlah penduduk miskin kembali naik menjadi 31,15 ribu jiwa. Di tahun 2018 sebanyak 31,18 ribu jiwa. Pada tahun 2019 sebanyak 31,79 ribu jiwa. Tahun 2020 sebanyak 31,75 ribu jiwa. Tahun 2021 sebanyak 30,95 ribu jiwa.
Kemudian, pada tahun 2022 sebanyak 31,58 ribu jiwa. Tahun 2023 sebanyak 30,31 ribu jiwa dan di tahun 2024 sebanyak 32,09 ribu jiwa.
Sedangkan, angka tertinggi terkait dengan garis kemiskinan di Kabupaten Mimika berada pada tahun 2010 dimana jumlah penduduk miskin mencapai 41,81 ribu jiwa.
Selanjutnya, di tahun 2011 jumlah penduduk miskin sebanyak 40,32 ribu jiwa. Di tahun 2012 sebanyak 38,73 ribu jiwa dan di tahun 2013 sebanyak 40,17 ribu jiwa penduduk miskin.
Kepala BPS Kabupaten Mimika, Ouceu Satyadipura menjelaskan, angka kemiskinan ini muncul dari hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2024.
Dalam Susenas, telah terdapat modul konsumsi yang menggunakan metode pendekatan konsumsi rumah tangga dalam satu minggu terakhir atau dalam satu bulan terakhir.
Pendekatan ini digunakan karena rata-rata orang Indonesia akan dianggap miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan kalori 2.200 kilo kalori per orang per hari.
“Bagaimana menghitung kalorinya? Apa yang dikonsumsi oleh rumah tangga tadi dan itu akan dikonversi ke kalorinya. Kenapa kita pakainya begitu secara nasional? Karena kita pakai Purchasing Power Parities (PPP),” terang Ouceu saat ditemui, Senin 3 Februari 2025 lalu.
Dijelaskan, Purchasing Power Parities jika dalam dunia internasional, biasanya orang yang tidak mampu mengkonsumsi makanan dengan harga 2 dollar Amerika per orang per hari disebut miskin.
Lalu, orang yang tidak bisa mengkonsumsi makanan dengan harga 1 dollar Amerika pe orang per hari disebut miskin ekstrim.
Namun di Indonesia, pendekatan ini diganti dengan pendekatan konsumsi rumah tangga berdasarkan jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari dengan jumlah kalori yang dihitung setara dengan 2 dollar Amerika.
“Kenapa bukan dari penghasilan saja sih? Sulit. Misalnya gini, Saya tanya gajimu berapa pasti berat untuk dijawab, tapi kalau saya tanya Ibu-ibu, Bu belanja apa? Dengan bangganya dia akan cerita kemaren saya ke pasar belanja totalnya segini, saya ke Mall segini. Akhirnya kita tahu pengeluaran buat makanan segini, minimal gajinya segitu. Makanya pendekatannya pendekata pengeluaran, bukan pendekatan pendapatan,” jelas Ouceu.
Dari beberapa contoh di atas, terpotret garis kemiskinan di Kabupaten Mimika sendiri dihitung berdasarkan hasil survey dan tidak bisa digambarkan dengan angka yang mutlak.
Presentase garis kemiskinan di Timika juga tidak bisa sampai ke level distrik, maka hanya mewakili level kabupaten saja.
“Kalau kita kalikan dengan jumlah penduduk kira-kira sekitar 32 ribu jiwa lah yang masih ada di bawah garis kemiskinan, tercatat bukan kemikinan ekstrim, yang dianggap tidak mampu secara konsumsi kalori yang tadi 2.200 kilo kalori per orang per hari,” ujarnya.
Ilustrasi paling sederhana yang dapat dipakai untuk menggambarkan kondisi kemiskinan di Mimika contohnya jika dalam satu hari, satu orang harus mengorek kantong sebesar Rp25 ribu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya.
Sedangkan, dalam satu keluarga terdapat empat anggota keluarga maka sudah menghabiskan sebanyak Rp100 ribu untuk dapat memenuhi kebutuhan 2.200 kilo kalori per orang per hari.
Mengacu pada ilustrasi diatas, maka dalam satu bulan tentunya membutuhkan Rp3 juta untuk memenuhi kebutuhan kalori.
Dengan kasus ini, rumah tangga yang tidak mampu memenuhi Rp3 juta per bulan dianggap miskin. Sedangkan dalam suatu rumah tangga tentu memiliki kebutuhan bukan saja tentang pangan, namun sandang dan papan pun harus dapat terpenuhi.
Jika semua kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi dalam satu bulan maka akan dianggap miskin. “Kita punya UMP sekarang (misalnya) sekarang lima koma ya, apakah itu semua dipakai makan? Belm tentu. Karena sewa rumah, bayar listrik, belum lagi cicilan motor, belanja online,” ucap Ouceu.
Ouceu melanjutkan, apabila inflasi naik hingga mengakibatkan rumah tangga tidak dapat membeli kebutuhan pokoknya maka secara otomatis rumah tangga itu akan menurunkan kaulitas makanannya.
“Kalau sampai terlalu sekali akhirnya masyrakat itu tidak bisa memenuhi kebutuhan 2200 kilo kalori per orang per hari, maka itu disebut menjadi rumah tangga miskin,” pungkasnya.
Perlu diketahui bahwa di Mimika sendiri, angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh banyaknya orang yang datang untuk mencari kerja.
Ribuan pencari kerja dari berbagai penjuru Nusantara dengan tingkat ekonomi rendah datang ke Mimika mencari kerja untuk memperbaiki perekonomiannya.