Papuadaily — Gubernur Papua, Mathius Fakhiri, menekankan pentingnya pelestarian serta penghormatan terhadap simbol-simbol budaya lokal, termasuk Mahkota Cenderawasih yang menjadi lambang kehormatan masyarakat adat di Papua.
“Mahkota Cenderawasih merupakan simbol budaya dan hanya digunakan dalam upacara adat, sehingga harus dihormati,” ujar Fakhiri usai menerima kunjungan Majelis Rakyat Papua (MRP) bersama sejumlah ondoafi di Kantor Gubernur Papua, Kota Jayapura, Jumat (24/10/2025).
Ia berharap seluruh pihak dapat lebih menghargai nilai-nilai budaya Papua dan tidak lagi mengabaikan simbol adat tersebut.
“Pemerintah berkewajiban menampung aspirasi masyarakat adat bila ada tindakan yang dinilai menyinggung atau melanggar hak-hak budaya mereka. Kami akan menindaklanjutinya sesuai mekanisme,” tegas Gubernur Fakhiri.
Lebih lanjut, ia menjelaskan Mahkota Cenderawasih bukan sekadar aksesoris, tetapi lambang identitas dan martabat orang Papua yang perlu dijaga penggunaannya.
“Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi lain di Tanah Papua untuk memastikan perlindungan terhadap simbol-simbol adat,” jelasnya.
Fakhiri menambahkan bahwa kearifan lokal perlu dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas pemerintahan maupun penegakan aturan.
“Jika ada pengaturan yang jelas, kejadian serupa tidak akan terulang. Karena itu, saya mengimbau aparat keamanan agar lebih bijak dan berhati-hati ketika menghadapi situasi yang menyangkut tradisi serta simbol adat,” imbuhnya.
Sebelumnya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua memusnahkan 54 opset dan Mahkota Cenderawasih pada Senin (20/10/2025) lalu, sebagai bagian dari upaya penegakan hukum perlindungan satwa dilindungi.
Kemenhut minta maaf
Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Papua, khususnya para tokoh adat dan lembaga kultural seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) atas pemusnahan Mahkota Cenderawasih berujung protes.
Direktur Jenderal KSDAE, Prof. Satyawan Pudyatmoko, menjelaskan bahwa pemusnahan tersebut merupakan bagian dari proses penegakan hukum terhadap praktik perdagangan satwa liar dilindungi dan bagian-bagiannya. Tindakan itu mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 yang telah diperbarui melalui UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Namun, pihaknya memahami bahwa sebagian barang bukti tersebut memiliki nilai budaya tinggi bagi masyarakat Papua.
“Kami menyampaikan permohonan maaf atas timbulnya kekecewaan dan rasa terluka yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Kami memahami bahwa mahkota cenderawasih bukan sekadar benda, melainkan simbol kehormatan dan identitas kultural masyarakat Papua,” ujar Prof. Satyawan di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Ia menegaskan, tidak ada niat dari Kementerian Kehutanan untuk menyinggung atau mengabaikan nilai-nilai budaya masyarakat Papua. Menurutnya, kejadian tersebut sepenuhnya merupakan bagian dari upaya penegakan hukum dan menjadi pembelajaran penting bagi kementerian agar lebih memperhatikan aspek sosial dan budaya dalam setiap kebijakan.
“Konservasi tidak hanya soal menjaga satwa di alam, tetapi juga tentang penghormatan terhadap nilai budaya dan kearifan lokal. Kami berkomitmen membangun komunikasi dan kolaborasi dengan masyarakat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip saling menghormati,” lanjutnya.
Sebagai langkah tindak lanjut, Kementerian Kehutanan menginstruksikan Balai Besar KSDA Papua untuk segera melakukan komunikasi dan dialog dengan lembaga adat, MRP, serta tokoh masyarakat setempat. Dialog ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman bersama dan merumuskan mekanisme penanganan yang lebih bijak terhadap barang bukti satwa liar yang memiliki nilai budaya.
“Kami akan mengkaji kemungkinan agar barang bukti bernilai budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan edukasi melalui kerja sama dengan lembaga adat atau museum daerah, tanpa mengurangi aspek hukum perlindungan satwa liar,” jelasnya.
Kementerian Kehutanan menegaskan kembali komitmennya bahwa upaya konservasi burung cenderawasih dapat berjalan seiring dengan penghormatan terhadap budaya Papua. Burung cenderawasih, kata Prof. Satyawan, bukan hanya bagian dari kekayaan hayati Indonesia, tetapi juga simbol kebanggaan dan jati diri masyarakat Papua yang perlu dijaga bersama.


