CATATAN REDAKSI – Berbagai dinamika mewarnai penyelenggaraan Pemilu 2024 di Mimika, Papua Tengah. Praktik kecurangan masih marak, seolah menjadi warisan dalam pesta demokrasi dari waktu ke waktu.
Pemungutan suara
Sebagai daerah tujuan pencari kerja, partisipasi pemilu di Mimika sebenarnya cukup rendah. Kondisi ini berpotensi membuat pemilu menyisakan surat suara yang tidak sedikit. Kesempatan ini memberi peluang praktik kecurangan.
Mobilisasi massa ke TPS untuk mencoblos berulang kali sudah menjadi hal biasa dalam pemilu di Mimika. Bahkan surat pemberitahuan pemungutan suara bagi pemilih kerap diperdagangkan untuk kepentingan mobilisasi massa ke TPS.
Selain itu, surat suara sisa di TPS juga bisa disulap menjadi lembaran rupiah. Sejumlah KPPS memperdagangkan surat suara sisa tersebut kepada caleg. Baik caleg yang mencari ataupun KPPS yang menawarkan.
Pleno distrik
Lagi-lagi surat suara sisa. Tak habis dimainkan KPPS, kini giliran PPD. Akumulasi surat suara sisa dari ratusan TPS tidaklah sedikit. Di sinilah peluang penggelembungan suara dengan memanfaatkan surat suara sisa tersebut.
Ketika terjadi protes di tengah pleno KPU Mimika, salah satu PPD secara terang-terangan mengakui telah manambahkan sekitar 600an suara ke salah satu caleg dengan memanfaatkan surat suara sisa. Kendati praktek kecurangan tersebut gagal lantaran ketahuan saat pleno.
Untuk menekan terjadinya protes, PPD tidak memberikan formulir model D hasil kecamatan/distrik kepada para saksi. Dengan demikian, peserta pemilu yang dirugikan dari data yang dimanipulasi PPD sulit melakukan gugatan karena tidak punya bukti.
Hal ini diakui Koordinator Divisi Hukum KPU Mimika Hironimus Kia Ruma. Dia bilang ada indikasi kuat PPD merubah data perolehan suara sehingga mereka mengulur-ulur waktu menghadiri pleno kabupaten.
“Saksi tidak diberikan form D hasil oleh PPD. Saksi juga lemah di situ ketika mau mengajukan keberatan ke tingkat kabupaten, karena KPU tingkat kabupaten hanya mengakomodasi keberatan yang didasarkan pada D hasil pleno kecamatan,” katanya.
Pelanggaran terparah salah satu PPD di Mimika yaitu tidak melakukan pleno tingkat distrik tetapi punya data hasil perolehan suara. Para saksi peserta pemilu hingga Panwaslu Distrik tidak diberitahu mengenai pleno PPD tersebut. Sudah tentu saksi maupun Panwaslu tidak mendapat form D hasil kecamatan.
Pleno kabupaten
KPU Mimika seolah menutup ruang keberatan para saksi meskipun tetap mengarahkan untuk mengisi form keberatan. Kondisi ini memuluskan semua kecurangan dengan dalih peserta pemilu bisa mengajukan gugatan secara prosedural.
KPU Mimika mengesahkan perolehan suara yang nyata-nyata telah cacat prosedural, seperti data perolehan suara tanpa pleno tingkat distrik. Adapula data perolehan suara yang tidak sesuai. Padahal, mestinya temuan semacam ini tidak dapat ditoleransi dan harus diselesaikan sebelum penetapan hasil.
KPU Mimika yang dipimpin Dete Abugau berdalih bahwa mereka diburu waktu dan tak mungkin mengulang tahapan yang sudah lewat jauh ke belakang. Meskipun dalam rapat pleno kabupaten Bawaslu Mimika sempat mengajukan beberapa rekomendasi. Tetapi Bawaslu juga tidak konsisten terhadap rekomendasinya sendiri.
“Silahkan bagi seluruh peserta pemilu melaporkan apa pun pelanggaran yang ada ke Gakkumdu. Termasuk saya, silahkan laporkan saya jika ini melanggar, cari-cari kesalahan saya. Saya tidak akan mundur selangkah pun,” tutur Abugau.
Rentetan pelanggaran berat pemilu tersebut tak terlepas dari kealpaan pengawas pemilu menjalankan perannya. Mereka harusnya tidak membiarkan hasil pemilu ditetapkan dalam kondisi cacat prosedural dan bahkan cacat hukum berdasarkan UU Pemilu.
Sudah saatnya evaluasi menyeluruh terhadap rangkaian tahapan penyelenggaraan pemilu di Mimika. Apalagi Pilkada serentak tahun ini sudah di depan mata. Jika praktik ugal-ugalan semacam ini masih terjadi, bukan tidak mungkin Pilkada akan datang bakal dihadapkan dengan dinamikan lebih berat.