Papua  

26 Tahun Tragedi Biak Berdarah: Pelanggaran HAM Seakan Dibenarkan

Tanda peringatan Tragedi Biak Berdarah, ditulis di bawah menara air. (Project M/Permata Adinda)

Papuadaily – Tepat pada 6 Juli 1998 terjadi tragedi kemanusiaan di Tanah Papua yang dikenang sebagai peristiwa Biak Berdarah. Hingga 6 Juli 2024, terhitung 26 tahun pula peristiwa Biak Berdarah berlalu tanpa upaya penyelesaian yang memberi keadilan bagi para korban.

“Tidak pernah ada pengungkapan siapa pelaku dalam peristiwa ini, apalagi penuntutan pidana terhadap para pelaku. Para korban juga tidak pernah menerima pemulihan sebagai akibat dari kerugian dan penderitaan yang mereka alami. Negara seakan berupaya untuk mengubur rekam jejak kelam ini sebagai masa lalu yang tidak perlu diungkit kembali,” begitu dilansir KontraS, Sabtu (6/7/2024).

Peristiwa ini bermula dari aksi damai yang berlangsung sejak 2 Juli 1998. Akan tetapi, aparat militer dan kepolisian setempat justru menyikapi aksi ini dengan menggunakan kekerasan. Aparat melakukan penyerangan terhadap massa aksi hingga mengakibatkan warga sipil menjadi korban.

Laporan dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua (Elsham Papua), Gereja Kristen Injili (GKI) Irian Jaya, Gereja Katolik Keuskupan Jayapura, dan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) mengungkapkan terdapat 150 orang ditahan secara sewenang-wenang, 37 orang mengalami luka-luka, 8 orang meninggal dunia, dan 3 orang dinyatakan hilang.

Tidak hanya itu, terdapat pula 32 mayat misterius mengambang di perairan Biak, yang diduga kuat berkaitan dengan peristiwa ini melalui kesaksian seorang nelayan.

“Meskipun peristiwa ini secara nyata terjadi yang dapat dibuktikan dengan adanya korban, tidak pernah ada upaya penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus ini,” menurut Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya.

Sebelumnya, pada Juli 1998, Komnas HAM pernah mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi pelanggaran HAM oleh aparat keamanan saat pembubaran massa di Biak. Komnas HAM juga pernah membentuk tim kajian kebijakan daerah operasi militer Papua yang kemudian merekomendasikan dilakukannya penyelidikan lebih lanjut terhadap peristiwa Biak Berdarah karena adanya dugaan terjadi pelanggaran HAM berat.

“Pengabaian pemerintah terhadap peristiwa Biak Berdarah menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggengkan impunitas dengan tidak mengungkapi pelaku kejahatan dan menjauhkan mereka dari penegakan akuntabilitas dalam penggunaan alat kekuasaan negara”

“Terjadinya peristiwa ini dalam beberapa bulan awal pasca Reformasi harusnya menjadi dorongan yang cukup bagi negara untuk turut memperhatikan peristiwa ini dan mengusut peristiwa ini secara tuntas. 26 tahun telah berlalu sejak Reformasi nyatanya tidak mampu meruntuhkan dinding impunitas yang dipelihara negara seperti dalam periode kepemimpinan Presiden Soeharto,” tulis Dimas.

Tidak hanya itu, kata Dimas, sikap abai pemerintah merefleksikan bagaimana Papua dan warga Papua dipandang oleh pemerintah. Ketiadaan upaya penyelesaian yang berkeadilan, mengindikasikan bahwa penggunaan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM di Papua dibenarkan dan bukanlah suatu bentuk kejahatan.

“Hal ini pun dikuatkan dengan pola penyerangan dalam peristiwa Biak Berdarah yang dilakukan dari empat arah mata angin, memberikan kesan bahwa para massa aksi, dalam hal ini warga Biak, dipersepsikan sebagai musuh berbahaya yang harus ditumpas alih-alih sebagai warga negara yang memiliki seperangkat hak asasi,” katanya.

Menurutnya, peristiwa Biak Berdarah hanyalah bagian kecil dari praktik kekerasan oleh negara dan ketidakadilan yang telah terjadi selama beberapa dekade terakhir di Tanah Papua. Terdapat banyak peristiwa tragedi kemanusiaan lainnya yang juga terjadi di Papua, di antaranya yaitu peristiwa Wasior 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Abepura 2000, dan peristiwa Paniai 2014.

Pemerintah tidak pernah menunjukkan itikad baiknya dalam menghargai HAM dari warga Papua maupun dalam menyelesaikan berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Peristiwa Abepura dan peristiwa Paniai yang telah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat dan telah dibawa ke Pengadilan HAM pun, seluruh pelakunya berhasil lolos dari jeratan hukum.

“Dalam hal adanya proses hukum yang harus dijalankan terkait kekerasan di Papua, negara seakan dengan sengaja merancangnya untuk gagal,” ucap Dimas.

Karena itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo menyelesaikan secara tuntas dan berkeadilan peristiwa Biak Berdarah.

“Menghentikan praktik impunitas, khususnya di Tanah Papua serta pemerintah harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia kepada setiap orang”

“Mengevaluasi pengerahan aparat keamanan dan kemudian menghentikan berbagai bentuk pendekatan keamanan serta melakukan pendekatan dialog untuk mengakhiri situasi konflik di Papua secara damai”