banner 728x250

Mahasiswa Intan Jaya soroti sikap bungkam Gubernur dan Bupati soal kemanusiaan

TONTON VIDEO

Solidaritas Mahasiswa Intan Jaya se-Indonesia mengecam sikap bungkam Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Pemerintah Kabupaten Intan Jaya terhadap meningkatnya eskalasi konflik bersenjata di wilayah tersebut. Mereka menilai pemerintah daerah gagal melindungi rakyat dari dampak operasi militer yang terus menelan korban jiwa.

Dalam pernyataan sikap yang diterima Papuadaily, Minggu (19/10/2025), mahasiswa menyoroti masifnya pendropan pasukan non-organik ke wilayah Papua Tengah, khususnya Kabupaten Intan Jaya. Mereka menilai situasi tersebut memperburuk kondisi kemanusiaan yang telah berlangsung sejak lama.

“Melihat masifnya pendropan militer non-organik di Tanah Papua, kami memandang perlu adanya langkah strategis dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua Tengah, dan Pemerintah Daerah Intan Jaya untuk menyikapi konflik bersenjata yang mengorbankan banyak nyawa,” tulis pernyataan itu.

Mahasiswa juga menyinggung kembali kasus pembunuhan Pendeta Yeremias Zanambani di Hitadipa pada 2020, hingga operasi militer terbaru pada 15 Oktober 2025 oleh Satgas Habema Kogabwilhan III yang dilaporkan menewaskan 15 orang di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa. Akibat insiden itu, sebanyak 145 warga dari tiga kampung — Soagama, Kulapa, dan Janamaba — terpaksa mengungsi ke Hitadipa.

Rinciannya, terdapat 68 perempuan, 38 laki-laki dan pemuda, serta 39 anak-anak. “Rentetan peristiwa pembunuhan terhadap warga sipil dari tahun ke tahun semakin memanas dan menambah jumlah korban,” tegas mereka.

Mahasiswa menilai negara gagal menyelesaikan konflik kemanusiaan yang terus berulang di Intan Jaya. Mereka juga menuding operasi militer yang berlangsung merupakan bagian dari kepentingan ekonomi-politik, khususnya terkait isu eksplorasi tambang Blok B Wabu yang selama ini menjadi sorotan pegiat HAM.

“Jika situasi pembiaran ini terus terjadi tanpa langkah strategis, maka kami menilai pendropan militer besar-besaran ini adalah upaya negara untuk membuka akses investasi di Intan Jaya,” lanjut pernyataan itu.

Dalam sikap resminya, Solidaritas Mahasiswa Intan Jaya se-Indonesia menyampaikan lima poin tuntutan:

  1. Kami mahasiswa/i Intan Jaya se-Indonesia memberikan peringatan keras terhadap Bupati Aner Maiseni dan Meki Fritz Nawipa selaku Gubernur Provinsi Papua Tengah.
  2. Pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Intan Jaya Aner Maiseni dan jajarannya, segera hentikan pembangunan jalan dan fokuskan pembangunan pada sumber daya manusia, terutama pendidikan dan kesehatan.
  3. Kami mahasiswa/i Intan Jaya menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah Kabupaten Intan Jaya dan pemerintah Provinsi Papua Tengah karena gagal menyelesaikan konflik berkepanjangan di Intan Jaya, dan apabila ketidakadilan ini terus dibiarkan maka benang merah perjuangan mahasiswa/i adalah menuntut pencopotan jabatan seluruh pimpinan daerah yang lalai terhadap penderitaan rakyat.
  4. Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi Papua Tengah segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menarik militer non-organik di Kabupaten Intan Jaya dan seluruh Tanah Papua. Kami hidup damai sebelum negara dan militernya ada.
  5. Negara harus memberikan akses sebesar-besarnya kepada jurnalis asing dan jurnalis independen lainnya untuk melakukan investigasi indepeden terhadap persoalan kemanusiaan di Kabupaten Intan Jaya.

Gerakan mahasiswa ini menegaskan bahwa diamnya pemerintah merupakan bentuk kelalaian terhadap penderitaan rakyat. Mereka berjanji akan terus bersuara sampai ada langkah nyata dari pemerintah dalam menghentikan kekerasan dan mengedepankan pendekatan kemanusiaan di Intan Jaya.