Perusahaan plat merah dan ancaman kerusakan ‘Surga Terakhir di Bumi’

Aktivis lingkungan membentangkan poster "tambang nikel menghancurkan kehidupan" di hadapan Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, Ketika berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta. (Foto: Greenpeace)

Timika, Papuadaily – Aktivitas penambangan nikel yang disebut mengancam keindahan alam dan ekosistem pesisir laut di Raja Ampat, memantik protes dan kontroversi paling gaduh dalam dua pekan terakhir.

Publik menyorot PT Gag Nikel, perusahaan plat merah yang mengeksploitasi nikel di pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Aktivitas penambangan nikel juga ditemukan di pulau Kawe dan pulau Manuran.

PT Gag Nikel didirikan pemerintah Indonesia sejak 1998. Awalnya, saham mayoritas PT Gag Nikel dimiliki Asia Pacific Nickel Pty. Ltd sebesar 75% dan PT. Antam Tbk sebesar 25%. Namun sejak 2008, PT Antam mengakuisisi saham PT. Asia Pacific Nickel Pty dan sepenuhnya menguasai PT Gag Nikel.

Dalih Bahlil

Tentu saja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bersuara bahwa izin usaha pertambangan nikel di Raja Ampat diterbitkan sebelum dia menjabat sebagai menteri.

“Perlu saya tegaskan, saat izin usaha pertambangan dikeluarkan, saya masih menjadi Ketua Umum HIPMI dan belum masuk cabinet (menjadi menteri),” ujar Bahlil dalam keterangan tertulis, Jumat 6 Juni 2025.

Alih-alih menjawab tuntutan publik, Bahlil sibuk membantah isu aktivitas tambang merusak ikon wisata Raja Ampat. Dia bilang operasi pertambangan tidak dilakukan di Pulau Piaynemo yang terkenal dengan pemandangan bukit karst dan terumbu karang, melainkan di Pulau Gag yang terpisah jarak sekitar 30 hingga 40 kilometer.

“Banyak media menyebutkan penambangan dilakukan di Pulau Piaynemo. Itu tidak benar. Lokasinya ada di Pulau Gag yang jaraknya cukup jauh dari Piaynemo. Saya tahu karena saya cukup sering ke Raja Ampat,” kata Bahlil.

Publik menuntut Bahlil bersikap tegas menutup seluruh aktivitas penambangan nikel yang mengancam ‘surga terakhir di Bumi’ Raja Ampat, ketimbang seakan-akan cuci tangan menghadapi amukan publik terutama masyarakat Papua.

“Bahlil Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran teoritis, dapat kita sebut sebagai agen apropriatif colonial, demi legitimasi proyek hegemonic pusat atas wilayah pinggiran,” tulis Victor Yeimo, aktivis pro Papua Merdeka yang menunggangi isu tersebut.

Ditutup sementara

Merespon kritik publik yang membombardir pemerintah, Bahlil akhirnya memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag. Pembekuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut berlaku sejak Kamis, 5 Juni 2025.

Langkah ini diambil menyusul kecaman aktivis lingkungan termasuk Greenpeace dan aliansi masyarakat sipil. Mereka menggelar aksi damai tatkala Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta.

“Untuk sementara, kami hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan. Kami akan cek. Kami harus mengecek langsung ke lapangan agar tahu kondisi sebenarnya, tidak hanya berdasarkan pemberitaan,” kata Bahlil.

Ancaman kerusakan

Greenpeace menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.

Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami yang khas. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.

Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100.000.

Raja Ampat, yang sering disebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’ terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.

Ancam kehidupan

Ronisel Mambrasar, anak muda Papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat mengatakan, Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampungnya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele.

“Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik,” ungkapnya.

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah.

Sesumbar tentang keuntungan hilirisasi yang digaungkan sejak era pemerintahan Jokowi dan kini dilanjutkan Prabowo-Gibran, sudah seharusnya diakhiri menurut Greenpeace.

“Industrialisasi nikel terbukti menjadi ironi. Bukannya mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, tapi justru menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan memperparah kerusakan Bumi yang sudah menanggung beban krisis iklim,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.